Mengapa
artificial intelligence (kecerdasan buatan) atau AI tidak bisa menjadi mufti
(pemberi fatwa) dalam berbagai persoalan yang terkait dengan hukum ? Jawaban
atas pertanyaan ini disampaikan Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil
Nafis menjelaskan saat menjadi narasumber dalam sesi kedua Konferensi
Internasional ke-10 Sekretariat Jenderal Lembaga dan Badan Fatwa di Dunia di
Kairo, Mesir, dengan materi berjudul "Menciptakan Mufti yang Rasional di
Era Kecerdasan Buatan" beberapa waktu lalu. Kiai Cholil menyampaikan
kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran manusia, dan unsur kesadaran harus
ada ketika mengeluarkan fatwa. Dia menjelaskan bahwa fatwa adalah pekerjaan
yang membutuhkan pengetahuan yang mendalam dan keakraban dengan realitas.
"Seorang mufti harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
yurisprudensi Islam. Meski kecerdasan buatan adalah karunia dan berkah yang
besar dari Allah," kata Kiai Cholil dalam keterangan yang diterima
MUIDigital, Jumat (15/8/2025). Kiai Cholil menekankan AI harus digunakan dengan
bijaksana dan dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam membantu para
peniliti dan sarjana untuk melakukan analisis yurisprudensi yang lebih akurat
dan komperhensif. Tetapi, dia menegaskan bahwa AI tidak dapat menjadi mujtahid
atau mufti. Dia menyampaikan AI dapat memberikan jawaban atas keputusan masalah
yang dihadapi dan memberikan saran untuk pengambilan keputusan.
"Kecerdasan buatan dapat memberikan jawaban atas hukum masalah yang
dihadapi dan memberikan saran untuk pengambilan keputusan. Namun tidak memiliki
kesadaran manusia, dan unsur kesadaran harus ada dalam mengeluarkan
fatwa," jelasnya. Lebih lanjut, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah
menerangkan, kecerdasan buatan bersifat anonim, yang membuatnya tidak memenuhi
syarat untuk menjadi mufti yang pendapatnya diikuti.
Dia
menekankan bahwa mesin tidak dapat dipercayakan dengan beban tanggung jawab,
karena keandalan mesin dalam mengeluarkan fatwa harus bergantung pada orang
yang cakap dan berpengetahuan untuk memikul tanggung jawab tersebut, yang harus
ada unsur manusia. Kiai Cholil menjelaskan, fatwa adalah sebuah pekerjaan yang
membutuhkan pengetahuan yang mendalam dan keakraban dengan realitas. Sehingga,
seorang mufti harus memiliki pengentahuan yang mendalam tentang yurisprudensi
Islam dan prosedur-prosedur dalam mengeluarkan keputusan hukum, disamping
memahami realitas situasi yang dihadapi oleh si penanya. "Fatwa adalah
hasil ijtihad ilmiah yang mendalam berdasarkan Alquran, Sunnah, konsensus dan
analogi, dan bahwa mufti haruslah seorang ulama yang memenuhi syarat yang
dicirikan oleh kualitas pengetahuan, kejujuran dan keadilan, dan memahami
teks-teks syariah dan realitas kontemporer," ungkapnya. Dia mengungkapkan
lembaga-lembaga fatwa di dunia Islam, termasuk MUI, mengikuti metodologi yang
tepat dalam mengambil keputusan, termasuk mendamaikan antara mazhab-mazhab atau
menimbang pendapat sesuai dengan aturan yurisprudensi komperatif, serta ijtihad
kolektif dalam masalah-masalah yang muncul. "Keberadaan mufti dan lembaga
fatwa merupakan kebutuhan yang tak terhindarkan agar setiap fatwa dan keputusan
yurisprudensi memiliki pihak yang bertanggung jawab di hadapan manusia dan
Tuhan. Islam harus melakukan pendekatan terhadap perkembangan teknologi,
termasuk kecerdasan buatan," lanjutnya. Kiai Cholil menambahkan, hal itu
dalam kerangka kerja etis yang berakar pada prinsip-prinsip Islam, untuk
memastikan bahwa teknoloti tersebut digunakan untuk kebaikan dan menghormati
nilai-nilai moral dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sumber : https://mui.or.id/

😇
ReplyDeleteIjin bertanya pak misalnya kasus terburuknya di masa depan ketika ai mempunyai kesadaran sendiri atau seperti manusia dan dia bisa mengeluarkan fatwa apakah di anggap mufti? Menurut pendapat bapak gmn?
ReplyDelete