Idul Adha & Spiritualitas Kemanusiaan Haji

Jama'ah berdatangan untuk shalat Idul Adha di Cisitu Lama, Rabu 22 Agustus 2018

Pelaksanaan ibadah haji tidak bisa dilepaskan dari dimensi perjalanan kemanusiaan pada aspek spiritual dan sosial untuk bisa dijadikan pelajaran dan tuntunan dalam menghadapi persoalan kehidupan. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang sarat dengan pengamalan nilai-nilai kemanusiaan universal. Ka'bah merupakan simbol persatuan dan kesatuan umat, juga mengandung makna eksistensi kemanusiaan. Misalnya, di dalam Ka'bah terdapat Hijr Ismail, putra Nabi Ibrahim AS pernah hidup dalam suka dan duka bersama ibunda Siti Hajar pada saat ditinggal ayahandanya. Siti Hajar adalah sosok ibu yang penuh kasih sayang terhadap anaknya, serta memiliki keimanan kokoh, ketenangan batin, dan keluhuran budi. Ia adalah wanita kulit hitam, miskin, bahkan budak. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Allah SWT di sana untuk menjadi pelajaran bahwa Allah memberikan kedudukan kepada seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, melainkan karena ketakwaan kepada Allah SWT dan usaha untuk hijrah dari kejahatan menuju ke baikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

Khusyu menanti shalat .. beberapa malah khusyu sama HP :-(

Makna ibadah haji sungguh-sungguh memberikan pelajaran luar biasa atas perjalanan spiritualitas kemanusiaan hamba Allah dalam mengharap ridha Allah SWT dan meraih cinta-Nya. Pertama, sikap totalitas dalam beribadah lillaah ta'ala. Setiap ibadah menuntut adanya totalitas kepasrahan dan kepatuhan. Inilah yang disebut ibadah ikhlas dan pasrah yang jauh dari riya (agar dilihat orang lain), sum'ah (agar didengar orang lain), sehingga bukan hanya lillaah ta'ala melainkan juga billaah ta'ala. Tidak ada seorang ulama pun tidak bersepakat bahwa apa yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar terhadap Ismail merupakan bukti penyerahan diri sepenuhnya terhadap perintah Allah SWT. Kedua, sikap selalu ingin dekat dengan Allah SWT. Inti ibadah adalah menguji kesabaran dan sejauh mana segala pola pikir dan pola tindak manusia benar-benar sejalan dengan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Karakter manusia yang dekat dengan Allah SWT ada lah manusia yang sanggup melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan ketulusan hati untuk melaksanakan ibadah itu tanpa ragu sebagai rasa syukur kepada Allah SWT.

Rame tapi tertib .. lumayan dingin udara pagi ini

Ketiga, sikap keberanian menanggung risiko yang berat sebagai bentuk kecintaan kepada Allah SWT, melebihi ke cintaan kepada yang lainnya. Harta, takhta, dan jabatan atau kedudukan, bahkan jiwa ini sekalipun, tidak ada artinya jika mahabbah atau rasa cinta abadi kepada Allah hadir di relung hati manusia. Keempat, sikap melepaskan dan memerdekakan diri dari sifat dan sikap buruk manusia. Ibadah kurban mengandung makna agar umat Islam dalam kehidupannya selalu membuang jauh-jauh atau membunuh sifat-sifat binatang yang bersarang dalam dirinya. Karakter dominan dari binatang adalah tidak memiliki rasa kebersamaan atau per satuan dan kesatuan, hanya mementingkan isi perut (kenyang), serta tidak mengenal aturan, norma, dan etika. Berkurban berarti menahan diri dan berjuang melawan godaan egoisme. Walahu'alam.

Khotbah Idul Adha, mengingatkan kita akan pentingnya berkurban .. untuk diri sendiri, untuk masyarakat dan terutama untuk Allah SWT.

Sumber : Ahmad Agus Fitriawan, WWW.Republika.Co.Id

Comments