Suatu
bangsa akan menjadi besar dan maju manakala pemimpin dan rakyatnya pandai
bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, sebuah bangsa itu akan rusak dan binasa
manakala pemimpin dan rakyatnya kufur akan nkmat yang Allah berikan. Dimulai
dari pemimpinnya yang malas bersyukur, kemudian masyarakatnya yang ikut-ikutan
melupakan Allah Azza wa jalla. Hal ini merupakan sunatullah yang tetap berlaku,
sedangkan sunatullah (ketentuan hukum) Allah tidak pernah berubah, berganti,
atau selalu berlaku sepanjang waktu. Inilah firman Allah Ta’ala tentang
pentingnya bersyukur bagi suatu bangsa.
وَضَرَبَ
ٱللَّهُ مَثَلٗا قَرۡيَةٗ كَانَتۡ ءَامِنَةٗ مُّطۡمَئِنَّةٗ يَأۡتِيهَا رِزۡقُهَا رَغَدٗا
مِّن كُلِّ مَكَانٖ فَكَفَرَتۡ بِأَنۡعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلۡجُوعِ
وَٱلۡخَوۡفِ بِمَا كَانُواْ يَصۡنَعُونَ ١١٢
“Dan
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya
aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap
tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah
merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang
selalu mereka perbuat” (QS.Anahl: 112). Jika suatu bangsa mengalami kerusakan
moral akibat kelemahan masyarakatnya dalam bersyukur, maka tidak ada solusi
yang paling tepat selain mengajarkan kepada masyarakatnya untuk bersyukur.
Syukur adalah sumber akhlak mulia, menjadi dasar dari semua sifat baik yang
dimiliki manusia. Jika kita ingin membentuk karakter yang baik pada seorang
hamba Allah, maka mengajarinya bersyukur merupakan prioritas utama, namun yang
lebih utama lagi adalah para pendidik (murobbi) atau guru yang mendidik
generasi muda itu harus lebih pandai bersyukur pada Allah. Ilmu syukur tidak
hanya harus diajarkan tetapi diteladankan dan dicontohkan dalam mendidik
generasi muda. Dalam Qur’an Surat Luqman difirmankan oleh Allah bahwa Luqman
memiliki modal sebagai pendidik yaitu pandai mensyukuri nikmat Allah.
وَلَقَدۡ
ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا
يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ ١٢
“Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu “Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS.Luqman:12). Bersyukur dalam
ayat ini disebut “hikmah” (pengetahuan yang mendalam sebagai hasil pengalaman
yang sangat teruji kebenarannya). Hikmah bukan ilmu biasa, hikmah adalah
pengetahuan tentang hakikat kebaikan yang hanya diberikan Allah kepada
hamba-Nya yang terpilih seperti nabi dan orang-orang yang shalih. Luqman
sebagai pendidik adalah hikmah dalam arti seseorang yang hati dan akhlaqnya
selalu berhubungan dengan Allah melalui syukur. Jika para guru tidak pandai
bersyukur kepada Allah, maka bagaimana mereka bisa mengajarkan rasa syukur
kepada anak didik mereka. Para orang tua pun berperan besar dalam menanamkan
rasa syukur kepada Allah ini sehingga dalam menjelaskan kisah Luqman
digambarkan bahwa Luqman sedang mendidik anaknya, namun Luqman sendiri orang
yang pandai bersyukur. Sesungguhnya
bersyukur berarti mengenal keagungan dan kebesaran Allah dengan segala hak-Nya,
di mana hak yang paling mendasar adalah pujian kepada-Nya. Mengenal Allah untuk
dapat bersyukur kepadanya merupakan ilmu yang paling utama dalam ajaran Islam.
Generasi remaja dan anak-anak yang tidak pandai bersyukur akan mudah melawan
orang tuanya, tidak suka kemapanan (anti kemapanan), sehingga mudah terjangkit
penyakit seperti pergaulan bebas, asusila, narkoba dll.
Bersyukur
sejak dini
Pada
dasarnya manusia harus terus menerus belajar bersyukur, sejak kanak-kanak,
remaja, dewasa dan sampai tua pun tidak boleh berhenti bersyukur. Dalam dunia
pendidikan, para orang tua dan guru hendaknya mempersiapkan segala bentuk
sarana agar anak-anak mereka menjadi hamba-hamba Allah yang mengenal Allah
sejak dini. Kurikulum pendidikan yang utama hendaknya “ma’rifatullah” (mengenal
Allah) dan “As Syukru ala ni’matillah” (bersyukur atas semua nikmat Allah)
dalam keadaan apa pun dan bagaimanapun. Bila bersyukur kepada Allah ini yang
diutamakan maka kebaikan akan menyebar dan produktif, maka jika seorang anak
belajar bahasa hendaknya dia belajar bahasa orang-orang yang bersyukur, belajar
ilmu matematika maka ilmu matematikanya membuatnya pandai bersyukur, apalagi
ketika ia belajar IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) fenomena alam hendaknya menjadi
jembatan untuk bersyukur kepada Allah karena seluruh alam semesta merupakan
tanda-tanda kekuasaan Allah dan memperkenalkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah
berfirman:
وَمَا
يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٖ
٣٥
“Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar” ( Fussilat: 35). Bersyukur bukan hanya ucapan Alhamdulillah, tetapi
dengan segala amal ibadah dan amal shalih yang niatnya ditunjukkan untuk
mencari keridhaan Allah. bersyukur artinya meningkatkan seluruh potensi yang
diberikan oleh Allah baik secara fisik, mental, maupun spritual. Adapun
bentuknya yaitu : pertama, dengan mengucapkan Alhamdulillah. Kedua, dengan
merasakan dan menikmati anugerah dari Allah dengan segenap jiwa dan raga.
Ketiga, menjadikannya sebagai pemicu untuk meningkatkan kualitas hidup, ibadah,
amal shalih dan prestasi. Imam Ibnul Qayyim merangkum makna syukur dengan
pernyataan beliau “syukur adalah terlihatnya tanda-tanda nikmat Allah pada
lidah hamba-Nya dalam bentuk pujian, dihatinya dalam bentuk cinta kepada-Nya,
dan pada organ tubuh dalam bentuk taat pada Allah”. Lidah orang-orang yang
bersyukur tidak akan pernah menyanjung dan memuji selain kepada Allah,
sedangkan hati orang yang bersyukur dipenuhi dengan cinta pada Allah. jika dia
mencintai yang lain, maka cintanya karena Allah semata. Cinta ini dibuktikan
dengan amal perbuatan yang dilakukan oleh seluruh organ tubuhnya. Mata dan
telinganya taat dan taat kepada Allah, lidahnya digunakan untuk mengucapkan
kata-kata yang benar dan bermanfaat sedangkan tangan dan kakinya digunakan
untuk melakukan amal kebaikan. Aktifitasnya diniatkan semata-mata untuk
mengharap ridha Allah. Wallahu a’lam.
Oleh
Ustaz Wahyudi (S2 Syariah Institut Ilmu Alquran Jakarta, pengajar tahsin dan
tahfiz Alqur’an)
Sumber
: https://republika.co.id/
Comments
Post a Comment