Kita masih ragu dan belum yakin pada
janji-janji Allah dalam Al Qu’ran. Banyak di antara kita salah memahami ilmu
yakin. Kita sering ragu akan janji Allah bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
Padahal firman Allah, "fainna ma'aal 'usri yusra. Inna ma'al 'usri
yusra" itu diulang sampai dua kali. Bahkan ahli tafsir menyatakan, ketika
ada satu kesulitan, maka akan ada dua kemudahan. Namun, mengapa kita sering
tidak yakin bahwa selalu ada jalan keluar otomatis dari Allah atas setiap
kesulitan dan masalah yang menimpa kita ? Kita sering merasa tidak yakin atas
setiap kesulitan yang dialami dan atas setiap masalah yang terjadi. Bahkan,
atas setiap kekurangan rezeki. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini. Keraguan
akan janji Allah itu begitu kuat sekali. Padahal, Allah menjamin rezeki semua
mahlukNya, dari yang terbesar sampai terkecil (QS Hud: 6) : "Dan tidak ada
suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.
Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)". Itu artinya apa ?
Kita masih ragu dan belum yakin pada janji-janji Allah dalam Al Qu’ran. Yakin
kepada Al Qu’ran merupakan rukun iman. Dengan demikian tidak pantas jika kita
meragukan janji Allah tentang rezeki di Al Qu’ran. Namun demikian, terkadang
kita tidak tahu, hikmah di balik setiap peristiwa.
Manusia lebih suka mengeluh, persis
seperti diceritakan Alquran (QS al-Baqarah: 286): "Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa) : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir." (QS al-Ankabut: 2) : " Dan barangsiapa yang berjihad, maka
sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. ".
Diberi sakit, mengeluh, kehilangan uang mengeluh, bisnis rugi mengeluh, diberi
kesusahan sedikit saja mengeluh, seolah lupa bahwa Allah Maha Teliti, Maha
Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pemberi, Maha Pengasih, dan Maha
Penyayang. Jadi tidak mungkin muncul peristiwa dan apapun yang diciptakan Allah
tidak ada gunanya.
Manusia hanya diminta bersyukur agar Allah menambah nikmat-Nya (QS Ibrahim: 7) : " Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." Demikian pula, sebaik-baik doa, artinya termasuk saat kesusahan sekalipun adalah dengan mengucap “Alhamdulillah" (segala puji hanya milik Allah). Kalaulah dibuka sedikit saja pintu hikmah, kita akan melihat setiap peristiwa yang terjadi pada kita adalah baik bagi kita (sekali lagi baik bagi kita). Mari belajar dari kisah Nabi Musa. Ketika Nabi Musa dan rombongannya dikejar Firaun dan tentaranya, sehingga terjebak di pinggir lautan. Secara akal manusia, Nabi Musa dan rombongannya akan tertangkap Firaun. Rombongan Nabi Musa sudah ketakutan akan terbunuh oleh Firaun dan tentaranya. Namun, Nabi Musa yakin (sekali lagi yakin) bahwa Allah akan menolongnya. Barulah turun perintah untuk memukulkan tongkat Nabi Musa sehingga lautan berubah menjadi daratan, dan selamatlah Nabi Musa dan rombongan. Padahal itu hanya tongkat biasa, tapi karena Allah yang menurunkan perintah, maka apapun bisa terjadi. Kalau Allah mau, selalu saja ada jalan atas setiap masalah. Kun fayakun !. Pertanyaannya, sudahkah kita mendekat pada Allah ? Sudahkah kita yakin pada Allah ? Itu masalahnya. Dari sinilah, para ulama membagi ilmu yakin terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, 'ilmu al-yakin contohnya bersama kesulitan ada kemudahan. Kedua, 'ain al-yakin contohnya setelah melihat sendiri adanya kemudahan baru yakin. Ketiga, haq al-yakin contohnya setelah merasakan langsung kemudahan itu baru yakin itu benar. Kita termasuk tingkatan yang mana ? Wallahu a’lam.
Oleh : Abdul Muid Badrun
Sumber : https://www.republika.id
Par bey kudu bc ni
ReplyDeleteI'm parbey
Delete