Memperbincangkan
orang lain alias ghibah ikut mengalami revolusi seiring dengan berkembangnya
dunia digital saat ini. Di Indonesia, media sosial sudah menjadi kebutuhan
komunikasi masyarakat. Riset yang dilansir We Are Social menyebutkan, ada 79
juta pengguna Facebook asal Indonesia. Sebanyak 41 persen di antaranya adalah
kaum hawa. Meski jumlahnya masih kalah besar ketimbang pria, jumlah perempuan
yang mencapai kisaran 32 juta jiwa bukan angka yang kecil. Besarnya populasi
akun perempuan di Facebook bisa bermuatan positif atau negatif, bergantung
kontennya. Media sosial dari Facebook, Instagram, Twitter, atau Path menampung
semua penggunanya untuk menyebar konten yang bisa positif atau negatif. Jika
menarik, konten itu lantas akan dibalas dengan komentar-komentar di bawahnya.
Lantas, apakah menulis status untuk menjelekkan orang lain di media sosial
termasuk ghibah? Tidakkah yang dimaksud dengan ghibah adalah dengan
berkata-kata? Bukan dengan menulis status di akun Facebook atau Twitter.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut makna ghibah sebagai membicarakan
keburukan (keaiban) orang lain yang dilarang dalam agama Islam. Makna tersebut
merupakan simpulan sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang ghibah dalam
hadis. "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Tahukah engkau apa itu ghibah?" Mereka
menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Ia berkata,
"Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk
didengarkan orang lain." Beliau ditanya, "Bagaimana jika yang
disebutkan sesuai kenyataan?" Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Jika sesuai kenyataan, berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak
sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya." (HR Muslim No 2589). Definisi
yang ditukil dari hadis di atas cukup jelas. Menggunjing orang lain lewat
status dan video di media sosial pun termasuk ghibah. Bahkan, kecepatan dan
keluasan audiens penerima pesan di media sosial menjadikan konten yang
dibagikan bergulir sungguh cepat.
Ambil
contoh seorang ibu yang menghujat pembantunya karena tidak cekatan dalam
mengerjakan pekerjaan rumah tangga lewat Facebook atau istri yang mengeluhkan
telatnya gaji suami. Rekam jejak pembantu dan suami itu pun akan tersebar luas
ke publik di media sosial. Bukan hanya nama baik yang tercoreng, mereka bisa
menjadi bahan olok-olok rekan sekerja yang melihat status tersebut. Allah SWT
melarang keras setiap Muslim untuk menggunjing. Kegiatan yang dikenal dengan
bahasa ghibah ini dihinakan setara dengan memakan daging manusia yang sudah
mati. "Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang
lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Tentu kamu merasa jijik." (QS al-Hujuraat: 12). Meski Allah dan
Rasul-Nya sudah tegas melarang ghibah, aktivitas tersebut sulit terbendung.
Naluri manusia untuk bercerita dan mendengarkan cerita menjadi salah satu
musabab lestarinya tradisi itu. Tidak terkecuali di media sosial.
Imam
Zainuddin al-Juba'i al-Amili as-Syami (wafat 965 H) dalam karyanya yang cukup
langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah 'An Ahkam al-Ghibah menawarkan
obat penawar mengantisipasi ghibah. Menurut dia, dosis umum mencegah ghibah
adalah menahan lisan. Selalu mawas diri, introspeksi, dan sibukkanlah diri
dengan mengurusi kekurangan diri sendiri daripada mengorek-orek aib orang lain.
Bila dijewantahkan dalam aktivitas di media sosial, sudah selayaknya Muslimah
menahan diri untuk membagikan pesan yang belum jelas validitasnya. Apalagi,
jika pesan tersebut menyentuh ranah privat. Introspeksi pun harus dilakukan
dengan menakar terlebih dahulu apakah pesan yang disebarkan akan menyakiti hati
orang lain atau tidak. Terakhir, menyibukkan diri untuk memperbaiki diri
sendiri jauh lebih menyehatkan jiwa ketimbang capek memikirkan kejelekan orang
lain. Ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang membuktikan kebaikan Islam
seseorang. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasululah SAW bersabda, "Di
antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak
bermanfaat baginya." (HR Tirmidzi). Wallahualam.
Sumber : https://khazanah.republika.co.id/
Comments
Post a Comment