Merasakan Nikmat Taat kepada Allah

 

Tujuan ibadah adalah untuk mendapat ridha dari Allah SWT dan bisa merasakan nikmat dengan ibadah tersebut. Akan tetapi, banyak orang yang melaksanakan ibadah justru merasa tertekan, terkekang, dan terbebani dengan tanggung jawab ibadah. Kondisi tersebut seakan berbanding terbalik dengan hakikat disyariatkannya suatu ibadah yang semestinya menjadi angin segar, ruang sejuk, dan kontemplasi batin yang nikmat bagi orang yang melaksanakannya. Kenyataan seseorang yang semakin banyak beribadah justru batinnya semakin kering, hatinya makin keras, kata-katanya kasar, perilakunya tidak sopan, dan tindak tanduknya jauh dari kelemahlembutan. Orang seperti ini biasanya menganggap ibadahnya paling baik, merasa paling dekat dengan Tuhan, dan kenal baik dengan para malaikat. Namun, tanpa ia sadari ternyata anggapan dan perilaku tersebut malah menjadi tanda dari orang yang tidak mengerti maksud dan tujuan inti dari ibadah.

 

Suatu ketika ada seseorang yang menemui Hasan al-Bashri lalu berkata, “Saya tidak menemukan kenikmatan dalam beribadah." Hasan al-Bashri menjawab, “Barangkali kamu hanya melihat kepada orang-orang yang tidak takut kepada Allah (berteman dengan ahli maksiat), ketaatan itu memasrahkan segalanya kepada Allah.” Pernyataan yang sama pernah juga diajukan kepada Abu Yazid, lalu beliau menjawab, “Hal itu disebabkan karena kamu menyembah ketaatan dan tidak menyembah Allah. Sembahlah Allah sampai kamu bisa mendapat kenikmatan dalam ketaatan kepada-Nya.” Dari dua kisah di atas kita menjadi paham bahwa ada sekian banyak orang yang melakukan ibadah, tapi tidak mendapatkan kenikmatan dari ibadahnya, sehingga menjadikan batinnya kosong, hatinya kering, lidahnya kaku, dan perilakunya kasar. Penyebabnya diungkapkan oleh kedua orang saleh itu. Pertama, karena berteman dengan orang yang tidak pantas dijadikan teman. Kedua, karena lupa bahwa tujuan beribadah adalah menyembah Allah SWT, patuh dan taat kepada-Nya, bukan malah menyembah dan mengagungkan ibadah itu sendiri.

 

Orang yang suka berteman dengan orang yang salah akan merasa akrab dengan kesalahan dan kemaksiatan mereka, sehingga tanpa sadar kesalahan itu akan menjadi kebiasaannya juga. Sebab, sebagaimana diungkap oleh Nabi SAW, “Seseorang itu tergantung dengan agama (kebiasaan) sahabat dekatnya” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Imam Ahmad). Kemudian, kesalahan kedua yang jarang disadari oleh kebanyakan kita adalah kita mengagungkan ibadah itu sendiri, yang dalam istilah Abu Yazid menyembah ibadah itu sendiri. Padahal, ketika kita beribadah senyatanya kita menyembah Allah SWT. Perbedaannya terletak pada mindset kita. Ketika kita mengagungkan ibadah, maka kita akan bangga dengan ibadah-ibadah yang kita lakukan dan cenderung meremehkan ibadah orang lain, sehingga pada puncaknya, kita akan menjadi orang sombong. Sebaliknya, ketika kita beribadah dengan mindset menyembah Allah SWT, maka kita akan menganggap ibadah itu sebagai sarana untuk bersua dengan-Nya. Lantaran kita mencintai-Nya, maka seberat apa pun ibadah yang dilakukan, kita akan merasakan ketenangan, kenyamanan, dan kekhusyukan bersama dengan Allah SWT.

 

Sumber : https://khazanah.republika.co.id/   

Comments