Rokok
tak hanya berdampak buruk bagi perokok itu sendiri, tetapi juga terhadap
anak-anak, termasuk dalam hal tumbuh kembang. Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial
Universitas Indonesia (PKJS UI), Aryana Satrya, menegaskan bahwa perilaku
merokok berkontribusi pada meningkatnya risiko stunting pada anak. Pengeluaran
lebih banyak untuk rokok daripada nutrisi anak Dalam workshop media bertajuk
Advokasi Tobacco Tax dan Tobacco Control* di Jakarta, Rabu (23/7/2025), Aryana
menjelaskan bahwa perilaku merokok di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah
berdampak langsung pada asupan gizi keluarga. "Biasanya orang yang
merokok, apalagi dia miskin ataupun pas-pasan, maka pengeluarannya lebih
dipakai untuk rokok dibanding untuk membeli makanan yang bergizi sehingga
anaknya menjadi stunting," kata Aryana, dikutip dari Antara, Kamis
(24/7/2025). Hal ini menyoroti beban ganda yang dialami keluarga perokok,
terutama dalam rumah tangga berpenghasilan rendah, yang akhirnya mengorbankan
kualitas makanan anak demi membeli rokok.
Bahaya
asap rokok terhadap janin tak hanya dari sisi ekonomi, rokok juga memberi
dampak biologis langsung terhadap janin dalam kandungan. Jika ibu hamil
terpapar asap rokok, zat berbahaya yang terkandung dalam asap tersebut dapat
masuk ke aliran darah janin. "Melalui asap rokok, zat-zat karsinogenik
asap rokok terhirup oleh ibu yang perokok pasif, ibu yang mengandung. Kemudian,
masuk ke sirkulasi darah janin dan mengganggu pusat otak janin tersebut,"
jelas Aryana. Paparan ini berisiko mengganggu perkembangan otak janin yang pada
akhirnya memicu gangguan tumbuh kembang termasuk stunting. Aryana juga
memaparkan temuan riset PKJS UI tahun 2018 yang memperlihatkan adanya hubungan
antara perilaku merokok orang tua dengan kondisi anak. "Tinggi badan anak
dari keluarga perokok lebih pendek 0,34 cm dibanding anak dari keluarga tidak
merokok," katanya. Selain itu, aspek kognitif anak pun terdampak. “Ada
pengukuran inteligensia, ternyata juga keluarga perokok ini anak-anaknya lebih
cenderung stunting, kesehatannya lebih terganggu, IQ-nya lebih rendah,” ujar
Aryana.
Ketua
Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau dan Penyakit Paru Direktorat
Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, menambahkan bahwa
keteladanan orang tua merupakan kunci pencegahan anak menjadi perokok.
"Kalau orang tuanya enggak merokok, 89 persen anak enggak merokok.
Sisanya, masih ada sekitar 11 persen anak bisa merokok karena pengaruh
teman," ujarnya. Menurutnya, inkonsistensi antara ucapan dan perilaku
orang tua menjadi hambatan besar dalam upaya edukasi. “Kalau orang tuanya
bilang merokok itu berbahaya, tapi orang tuanya merokok, anak pasti tidak
mendengar. Anak akan jawab, bapak saja merokok,” kata Benget. Benget menegaskan
bahwa Kementerian Kesehatan terus melakukan berbagai upaya untuk melindungi
anak-anak dari rokok, sebagai bagian dari strategi mencapai Indonesia Emas
2045. "Memang ini yang kita harus kendalikan, sehingga nanti cita-cita
untuk mencapai generasi emas itu tercapai tahun 2045. Karena mereka-mereka ini
akan menjadi generasi penerus negara kita ini," ujarnya. Namun, ia
mengingatkan bahwa pengendalian tembakau tidak bisa dilakukan sendiri oleh
Kemenkes. Kolaborasi lintas sektor dinilai sangat penting. "Karena
pengendalian tembakau tidak bisa dikerjakan oleh Kementerian Kesehatan. Harus
kolaborasi dari semua pihak," kata Benget.
Sumber : https://health.kompas.com
Comments
Post a Comment