Perilaku
flexing di media sosial, atau memamerkan kekayaan dan gaya hidup, sering kali
didorong oleh beberapa faktor psikologis dan sosial yang kompleks. Fenomena ini
bukan sekadar tentang membagikan momen, tetapi lebih berkaitan dengan kebutuhan
internal seseorang. Berikut adalah beberapa alasan umum mengapa seseorang
cenderung suka flexing di media sosial:
·
Mencari
Pengakuan dan Validasi : salah satu alasan terbesar adalah kebutuhan akan
pengakuan dan validasi dari orang lain. Seseorang mungkin merasa kurang
dihargai atau tidak percaya diri di kehidupan nyata. Dengan memposting barang
mewah, liburan, atau pencapaian, mereka berharap mendapatkan pujian,
"like," dan komentar positif yang bisa meningkatkan harga diri
mereka. Validasi eksternal ini menjadi cara instan untuk merasa berharga dan
sukses.
·
Menutupi
Rasa Insecure (Rendah Diri) : kebanyakan orang yang suka flexing sebenarnya
sedang menutupi rasa insecure atau rendah diri. Mereka mencoba menciptakan
citra diri yang sempurna dan sukses di media sosial untuk mengkompensasi
perasaan tidak aman yang mereka rasakan. Perilaku ini menjadi mekanisme
pertahanan untuk membuat diri mereka terlihat lebih baik dari kenyataan,
meskipun sebenarnya hal ini tidak menyelesaikan masalah.
·
Tekanan
Sosial dan Perbandingan : media sosial menciptakan lingkungan di mana setiap
orang membandingkan diri mereka dengan orang lain. Ketika seseorang melihat
orang lain memposting kehidupan yang tampak sempurna, mereka mungkin merasa
tertekan untuk melakukan hal yang sama agar tidak dianggap ketinggalan zaman
atau gagal. Ini memicu siklus perbandingan yang tidak sehat, di mana flexing
menjadi cara untuk menunjukkan bahwa mereka juga "sama suksesnya"
atau "lebih baik" dari orang lain.
·
Membangun
Citra Diri (Personal Branding) : flexing juga bisa menjadi strategi untuk
membangun citra diri atau personal branding. Bagi sebagian orang, terutama influencer
atau pebisnis, memamerkan kesuksesan dan kekayaan adalah bagian dari pekerjaan
mereka untuk menarik perhatian, mendapatkan sponsor, atau menunjukkan
kredibilitas. Flexing menjadi alat pemasaran yang strategis untuk mencapai
tujuan karier atau finansial.
Pada
intinya, flexing adalah perilaku yang sangat dipengaruhi oleh persepsi kita
terhadap diri sendiri dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain.
Meskipun terlihat glamor di permukaan, sering kali ada kerentanan dan
ketidakpuasan yang mendasarinya.
Perilaku
flexing sering kali berbalik merugikan orang yang melakukannya.
·
Menurunkan
Kesehatan Mental: ketergantungan pada validasi eksternal (like, komentar,
pujian) untuk merasa berharga dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan depresi.
Ketika pujian tidak datang atau ada komentar negatif, harga diri mereka bisa
langsung jatuh.
·
Hidup
Penuh Kepura-puraan: demi mempertahankan citra yang sempurna di media sosial,
pelaku flexing sering kali terpaksa hidup dalam kebohongan. Mereka mungkin
berutang atau menghabiskan uang secara berlebihan untuk membeli barang yang
sebenarnya tidak mereka butuhkan. Hal ini bisa menimbulkan tekanan batin yang
luar biasa dan membuat mereka kehilangan jati diri.
·
Merusak
Keuangan: perilaku konsumtif yang didorong oleh flexing bisa merusak kondisi
finansial. Seseorang bisa terjebak dalam gaya hidup hedonisme di mana mereka
memaksakan diri membeli barang mewah hanya untuk pamer, alih-alih menabung atau
berinvestasi.
·
Menjadi
Target Kejahatan: dengan memamerkan kekayaan secara terang-terangan, pelaku
flexing berisiko besar menjadi sasaran tindak kejahatan seperti penipuan,
perampokan, atau pencurian identitas.
Flexing
tidak hanya merugikan pelakunya, tetapi juga bisa berdampak negatif bagi
lingkungan sosial.
·
Memicu
Perasaan Insecure: bagi orang lain yang melihat, flexing bisa memicu perasaan
insecure dan rendah diri. Mereka mungkin merasa hidupnya kurang sukses atau
tidak berharga karena terus-menerus membandingkan diri dengan standar yang
tidak realistis yang ditampilkan di media sosial.
·
Mendorong
Budaya Materialistis: flexing menanamkan pemikiran bahwa kesuksesan hanya
diukur dari kekayaan materi. Hal ini bisa mengaburkan makna kesuksesan sejati
yang seharusnya mencakup hal-hal seperti pendidikan, kesehatan mental, dan
kebahagiaan pribadi.
·
Merusak
Hubungan Sosial: orang yang sering flexing cenderung dianggap sombong, angkuh,
dan tidak tulus. Hal ini dapat merusak hubungan pertemanan atau keluarga,
karena orang di sekitarnya mungkin merasa tidak nyaman atau cemburu.
Pada dasarnya, flexing menciptakan lingkaran setan yang berbahaya. Awalnya dilakukan untuk mencari validasi, tetapi pada akhirnya justru menggerogoti kebahagiaan sejati dan menimbulkan masalah baru yang lebih besar.
Comments
Post a Comment