Keputusan untuk merayakan dan
mempromosikan 28 September sebagai Hari Hak untuk Tahu Internasional (International Right to Know Day) itu diambil
dari Freedom of Information Litigation Conference yang diadakan 26-28 September
2002 di Sofia, Bulgaria. Perwakilan dari Freedom of Information (FOI) yaitu
organisasi dari 15 negara yang ambil bagian - Albania, Armenia, Bosnia dan
Herzegovina, Bulgaria, Georgia, Hongaria, India, Latvia, Makedonia, Meksiko, Moldova,
Rumania, Slovakia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat, sebagai serta
perwakilan dari organisasi internasional yang aktif di bidang FOI.
Pada tanggal 28 September 2002,
para aktivis FOI mendirikan International Freedom of Information Advocates Network
(FOIAnet), Program Akses Informasi (AIP) menjadi co-founder dan anggota aktif.
Para anggota baru FOIAnet sepakat berkolaborasi dalam promosi untuk mendukung
hak individu ke akses informasi yang terbuka, pemerintahan yang transparan dan
mengadopsi memorandum yang mengatur tujuan dan kegiatan jaringan. Hari ini,
para anggota FOIAnet lebih dari 200 organisasi dan kelompok sipil dari seluruh
dunia yang saling bertukar pengetahuan dan pengalaman dan melakukan inisiatif
internasional untuk kebebasan yang lebih baik dari standar informasi.
Komisi Informasi Pusat (KIP) memanfaatkan
momen ini untuk mendorong masyarakat 'hak untuk tahu'. "Bahwa masyarakat
punya hak (untuk tahu) dan harus berani," kata Ketua KIP, Abdulhamid
Dipopramono, saat dihubungi Tempo, Senin 28 September 2015. Abdulhamid
menjelaskan, hak untuk tahu ini dijamin oleh undang-undang, yakni Pasal 28 UUD
1945. Semakin dijamin lagi dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. "Jadi masyarakat tidak boleh takut," ujar
Abdulhamid.
Dia mencontohkan beberapa hak
yang bisa diketahui masyarakat. Yaitu anggaran, rencana pembelanjaan negara,
laporan keuangan, dan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan. Abdulhamid mengatakan, masih ada lembaga pemerintahan yang membangkang dan
tidak mau membuka informasi yang diinginkan publik. Ia hanya mencontohkan
Indonesian Corruption Watch (ICW) yang pernah menggugat Polri untuk memberi
keterangan soal rekening gendut para jenderal. "Tapi ICW tidak berani
melakukan eksekusi (gugatan). LSM yang kuat saja begitu, apalagi warga yang
lemah dan sederhana."
Abdulhamid mengingatkan,
masyarakat tidak cukup hanya mengetahui hak-haknya. Namun, setelah mengetahui
dan menyadari hak-haknya tersebut, masyarakat juga harus memiliki keberanian
untuk mengakses dan memohon informasi ke Badan Publik pada umumnya dan
penyelenggara negara pada khususnya. “Peringatan tahun ini diikuti oleh para
komisioner dan pejabat sekretariat Komisi Informasi seluruh Indonesia, baik
provinsi maupun kabupaten, kota, dan peserta lainnya.”
Sumber :
Comments
Post a Comment