Gelar
sarjana tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen
(688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi.
Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu (S-1). Dari jumlah
itu, penganggur paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1
sebanyak 495.143 orang. Ternyata yang paling banyak menganggur di Indonesia
bukan lulusan SMA ke bawah melainkan lulusan perguruan tinggi.
Berdasarkan
hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak
tahun 2014 mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan
mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai. Fakta ini menunjukkan
banyaknya sarjana yang tidak terserap dunia kerja. Yang ada kemudian adalah
masih diadakan pelatihan seperti management trainee bagi lulusan oleh perusahaan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa banyak lulusan perguruan tinggi
yang tidak mendapatkan pekerjaan?
Setidaknya
ada tiga alasan yang bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama adalah banyaknya
sarjana yang tidak memiliki kemampuan wajib sebagai seorang lulusan
universitas. Richard Arum dalam bukunya yang berjudul Academically Adrift:
Limited Learning on College Campuses mengatakan bahwa ada tiga kemampuan wajib
yang harus dimiliki oleh seorang sarjana.
- Kemampuan berfikir kritis, yakni kemampuan untuk memeriksa validitas, reliabilitas, dan konsistensi logika atas sebuah informasi.
- Kemampuan komunikasi, yakni kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan ini meliputi berbicara, mendengar, menyimak, dan menempatkan diri dalam interaksi.
- Kemampuan menulis, yakni kemampuan untuk menuliskan gagasan, ide, dan informasi dalam alur yang logis, mudah dipahami, dan relevan terhadap masalah.
Banyak
sarjana di Indonesia tidak memiliki ketiga kemampuan ini. Dalam kemampuan
berfikir kritis misalnya, banyak sekali lulusan perguruan tinggi di Indonesia
yang sangat lemah dalam memeriksa validitas dan reliabilitas, alur logika, dan
relevansi sebuah informasi yang ada di hadapan mereka. Ketika disodori sebuah
permasalahan dalam dunia kerja, mereka tidak mampu mengurai masalah, mencari
akar masalah, membedakan antara fakta, opini, pengalaman, kepercayaan dan hasil
observasi dalam masalah tersebut. Akhirnya mereka tidak dapat menyelesaikan
masalah tersebut. Rendahnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah ini
menunjukkan gagalnya pendidikan tinggi kita hari ini.
Hal
ini selain disebabkan oleh rendahnya minat baca dan pendidikan yang tidak
menekankan pada kemampuan berfikir kritis. Rendahnya minat baca ini disebabkan
oleh pendidikan dasar hingga menengah atas yang menekankan pada hafalan
daripada penalaran. Dalam soal ujian misalnya para siswa akan dituntut untuk
menyebutkan jawaban ketimbang menyelesaikan masalah. Dalam ilmu sains para
siswa akan dipaksa untuk menghafal rumus tanpa paham konteks dan makna rumus
tersebut. Ketika memasuki lingkungan kampus, para lulusan SMA ini masih membawa
mental penghafal dan malas berfikir ini ke dalam proses belajar.
Para
lulusan kurang memiliki kemampuan menulis dengan baik. Ini adalah hasil dari
pendidikan dasar hingga menengah atas yang kurang mendidik siswa untuk menulis,
mengelaborasi, mengarang, dan menyusun tulisan secara logis dan runut. Ketika
banyak tugas menulis di kampus, mahasiswa seringkali melakukan salin-tempel
tulisan orang lain. Alasannya selain karena lemahnya kemampuan menulis juga
sifat suka terhadap hal yang instan melalui ketersediaan informasi di internet.
Ketika lulus, para sarjana akan sulit untuk menuangkan gagasan mereka dalam tulisan.
Hasil tulisan mereka biasanya tidak logis, tidak menjawab pertanyaan, tidak
memiliki gagasan yang utuh dan banyak terdapat kalimat yang rancu.
Ketidakmampuan
dalam berfikir kritis untuk menyelesaikan masalah dan menulis ini ditambah
dengan rendahnya kemampuan berkomunikasi dari para sarjana. Massalisasi
pendidikan yang tidak diikuti dengan perekrutan dosen yang seimbang dengan
mahasiswa membuat proses pembelajaran tidak efektif. Proses diskusi, tanya
jawab, argumentasi, dan komunikasi yang intens dalam kelas tergantikan dengan
proses ceramah satu arah oleh dosen. Pendidikan yang seharusnya berlangsung
interaktif menjadi seminar-seminar di kelas besar. Mahasiswa kemudian jarang
untuk bertanya dan melakukan presentasi. Hasilnya
adalah rendahnya kemampuan berkomunikasi di kalangan lulusan perguruan tinggi.
Mereka tidak mampu merumuskan pertanyaan dengan tepat, mengemukakakan pendapat,
menjembatani berbagai pihak, menyimak, dan berdiskusi. Mereka akan terlihat
gugup dan malu-malu dalam simulasi kelompok diskusi terfokus yang ada pada
proses rekrutmen karyawan perusahaan.
Lemahnya kemampuan lulusan perguruan
tinggi dalam tiga hal ini membuat mereka tidak banyak terserap di dunia kerja.
Pengangguran ini pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan di negara. Karena sejatinya kemajuan negara tidak
ditentukan oleh sumber daya alam dan luas wilayahnya melainkan dari seberapa
kompetitif sumber daya manusianya. Dalam dunia yang semakin lintas batas ini
kompetisi berlangsung secara global. Mereka yang tidak kompetitif akan
tertinggal.
Salah
satu jalan untuk menjadi negara yang kompetitif adalah dengan memperbaiki mutu
pendidikan tinggi kita. Bukan dengan mengganti rektor di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia dengan rektor asing sebagaimana diutarakan Presiden Jokowi.
Karena itu merupakan manifestasi dari mental inlander. Ini juga merupakan
tamparan bagi para rektor yang saat ini menjabat. Pemerintah seharusnya dapat
melakukan intervensi melalui Kemenristekdikti dalam pemilihan rektor. Karena
banyak sekali pertimbangan politis dan sifat yang medioker dalam pemilihan
rektor. Hasilnya adalah kemampuan manajemen yang buruk dari para rektor. Pada
gilirannya perguruan tinggi akan gagal menjadi center of excellence. Para
lulusannya seperti buih di lautan. Banyak tapi tidak berkualitas.
Sumber
: Grienda Qomara www.republika.co.id
Comments
Post a Comment