Kerisauan
Presiden Joko Widodo soal media sosial jadi ajang caci maki, diungkapkan di
depan sekitar 10.000 ulama pada acara Doa untuk Keselamatan Bangsa yang
diselenggarakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, Sabtu (11/12/2016).
Katanya, "Media sosial sebulan belakangan isinya saling menghujat, saling
ejek, saling maki, fitnah, adu domba dan provokasi." Situasi
ini menurut Presiden harus diperbaiki bersama dan masyarakat diminta ikut
menjaga kesejukan termasuk di media sosial, karena hal-hal tadi bukan
nilai-nilai bangsa Indonesia, bukan nilai kesantunan.
Teknologi
telekomunikasi tumbuh pesat, di satu sisi mempermudah masyarakat penggunanya
berkomunikasi nyaris dari mana pun dan ke mana pun, di sisi lain ternyata
menghancurkan batas komunikasi santun yang selama ini terselenggara dalam
komunikasi langsung. Telekomunikasi seluler juga mengubah manusia dari semula
guyub, bermasyarakat, menjadi makin introvert, menyendiri. Pada zaman dahulu
informasi diperoleh ketika orang saling bertatap muka, hingga saat
telekomunikasi tampil sebagai perantara komunikasi yang menafikan tatap muka. Pada
masanya – sebelum dekade lalu – orang masih enggan menggunakan fasilitas
komunikasi jika akan menghubungi orang yang dianggap punya posisi atau kelas
lebih tinggi: orangtua, atasan, orang kaya.
Orang
pun menjaga bicaranya ketika bercakap-cakap, bahkan jika pun terpaksa bicara
dengan orang yang tidak disukainya. Mereka jarang menggunakan kata-kata kasar
ketika berhadapan, dan baru mengungkapkan kekesalan kepada pihak ketiga ketika
perjumpaan sudah usai. Orang akan bebas berbicara seenaknya, mengumpat, memaki,
umumnya dalam forum terbatas, baik berupa ruang tertutup ataupun jumlah peserta
yang sedikit. Kalaupun pembicaraan dalam forum terbatas itu bocor dan sampai ke
telinga orang lain yang jadi sasaran percakapan, efeknya tidak melebar, paling
jauh hanya ke sekitar orang-orang itu saja. Itu tadi acapkali yang disebut
dengan percakapan warung kopi, yang topiknya bisa beragam. Politik, ekonomi,
sosial, ghibah (membicarakan orang), yang menjadi cara penyampaian misalnya
pendidikan politik dalam kadar yang rendah. Namun segi negatifnya banyak karena
di pembicaraan warung kopi, ghibah menjadi topik yang paling menarik. Apalagi
jika menyangkut kekayaan, kecantikan, perselingkuhan.
Kalaupun
ada fitnah, mengejek, memaki, atau menghujat dalam pembicaraan itu, efeknya
kalaupun melebar biasanya diselesaikan dengan mendatangkan orang yang
berpengaruh di lingkungan. Peserta obrolan warung kopi pun menganggap
percakapan mereka sebagai omong kosong yang tidak punya nilai untuk disampaikan
ke orang lain. Perlu upaya ekstra keras, tenaga dan biaya untuk menyampaikan
omong kosong ke forum yang lebih luas. Media sosial menyediakan diri sebagai
penyampai berita yang efektif yang mampu menjangkau jauh lebih banyak orang dan
komunitas. Semua kendala cara penyebaran tumbang, karena tanpa batas ruangan
dan waktu dengan upaya jauh lebih ringan dan nyaris tanpa biaya.
Ketika
ibu-ibu ngerumpi, bergosip saat berjumpa di ujung gang sepulang belanja di
pasar, akibat paling tinggi penggosipnya dilabrak. Paling banter cakar-cakaran,
dilerai, lalu didamaikan, dan selesai. Masalahnya, masyarakat kini memindahkan
gang dan warung kopi ke ponsel yang punya fasilitas digital data, namun cara
berpikir mereka masih tidak beranjak dari dua lokasi itu. Ketika gosip muncul
di Twitter, Facebook, Instagram, atau sekadar tampilan status orang yang kadang
tidak dikenalnya, hanya dengan sekali klik bisa disebarkan ke orang lain dalam
hitungan deret ukur atau kuadrat, bisa ratusan ribu tujuan sekaligus. Faktor
nuansa selain kemampuan pencernaan kata berbeda pada tiap orang, membuat isu
menjadi bola liar. Apalagi jika dalam perjalanannya isu tadi sempat disunting
sebelum disebarkan lagi.
Mengubah
budaya gosip tidak mudah, sebab ngerumpi, meng-ghibah, walau dilarang agama
Islam, bagi banyak orang merupakan kenikmatan. Celakanya kegiatan ini malah
makin menggila ketika media sosial diperkenalkan. UU No 11/2008 tentang ITE
(Informasi dan Transaksi Elektronik) mestinya mampu meredakan pengunggahan
ujaran kebencian (hate speech) namun sebaliknya, justru makin marak. Masyarakat
merasa media sosial sangat cocok menjadi penyalur kekesalan mereka. Apalagi
karena ancaman hukumannya "hanya" empat tahun sehingga polisi tidak
bisa lagi serta merta menahan pelanggarnya sebelum proses peradilan. Pelaku
hate speech pun bisa tetap tenang sepanjang tidak ada laporan dari korban
kata-kata kebencian tadi.
Hate
speech, hujatan, memaki, fitnah, adu domba dan provokasi, bisa berbalik menjadi
tindak pidana ke penulis dan yang mengunggahnya di media sosial. Namun,
masyarakat belum terbiasa melaporkan hujatan-hujatan tadi sebagai pencemaran
nama baik, karena trauma masa lalu. Hingga belum lama ini, melapor ke aparat
penegak hukum dianggap akan merugikan diri sendiri, seperti ungkapan lapor
kehilangan ayam malah kehilangan kambing. Apalagi ketika yang dilaporkan
pejabat publik atau orang kuat, trauma ini sangat terasa.
Hate
speech merupakan delik aduan, sehingga ketika sekelompok orang yang melaporkan
adanya penghinaan kepada Presiden Jokowi lewat media sosial, polisi tidak dapat
mengusutnya, kecuali kalau Jokowi yang melapor. Karenanya jika sasaran adalah
bangsa atau personal yang maya, misalnya adu domba dan provokasi, negara atau
Menkominfo-lah yang harus mengadu ke polisi. Dikhawatirkan, sejalan dengan
makin maraknya ungkapan-ungkapan kata-kata kebencian, polisi akan kewalahan
dalam menanganinya. Mudah-mudahan tindak pidana hate speech tidak seperti
pelanggaran lalu lintas yang sudah marak yang kemudian cenderung dianggap
menjadi kebiasaan yang dibolehkan karena faktor penegak hukum yang kewalahan.
Sumber : Moch
S. Hendrowijono
nasional.kompas.com
Comments
Post a Comment