Mengapa
Negara Pancasila harus ditancapkan pada judul “Resonansi” ini? Mengapa tidak
hanya cukup menyebut Negara Indonesia saja? Alasannya terang benderang, karena
sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” telah lama diabaikan dalam strategi pembangunan nasional, kecuali
dalam kata dan wacana. Drama ini sudah berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan
lebih 71 tahun yang lalu. Akibatnya juga terang benderang dalam makna yang
sangat fatal: ketimpangan sosio-ekonomi di Negara Pancasila ini sudah berada di
lampu merah, pada tikungan tanda bahaya bagi kelangsungan masa depan bangsa
ini. Presiden, wakil presiden, menteri keuangan, dan banyak pengamat sudah
sering menyebut masalah ketimpangan ini. Sekadar membincangkan, manfaatnya nol,
manakala tidak diterjemahkan dalam kebijakan pembangunan sosial-ekonomi
nasional yang berkeadilan berdasarkan Pancasila. Tetapi tuan dan puan jangan lupa
mengamati ini: jika ada lembaga tinggi negara yang masih membisu dan gagap
menyebut isu ketimpangan ini, maka lembaga itu adalah yang berkantor di Senayan
yang bangga menyebut dirinya sebagai wakil rakyat. Entah rakyat mana yang
diwakili, kita tidak tahu. Mungkin penyebutan sebagai lembaga wakil partai
politik lebih tepat. Sudah cukup banyak wakil partai yang berkantor di Senayan
ini menjadi pasien KPK. Dalam berbagai survei, ternyata lembaga ini adalah yang
paling korup di negeri ini.
Pada
hari-hari terakhir ini, masalah ketimpangan ekonomi ramai lagi dikomentari
gara-gara informasi dalam TSCMP (the South China Morning Post), tertanggal 23
Februari 2017, enam hari yang lalu. Di bawah judul, “Wealth gap : four richest
Indonesians worth more than poorest 100 million” (Jurang kekayaan: empat orang
terkaya Indonesia melebihi harta 100 juta orang termiskin). Angka ini
berdasarkan survei yang dilakukan oleh Oxfam, sebuah konfederasi internasional
dari organisasi-organisasi amal dengan titik perhatian utama untuk melawan
kemiskinan global, didirikan tahun 1942, berpusat di Inggris. Sebagai LSM
tingkat dunia yang telah berpengalaman selama 70 tahun, Oxfam yang bekerja sama
dengan lebih 90 negara, maka temuan teranyarnya tentang ketimpangan ekonomi di
Indonesia memang sudah berada di ambang batas toleransi. Kalimat pertama yang
terbaca dalam laporan itu yaitu: “Empat orang Indonesia terkaya, hartanya
melebihi milik 100 juta rakyat termiskin di negeri itu, sebuah kajian
menemukan, sambil menyoroti betapa besarnya jumlah rakyat yang terpinggirkan
saat ekonomi membengkak.”
Presiden
Joko Widodo dinilai masih gagal memenuhi janji-janjinya untuk memerangi
ketidakadilan sambil menekankan agar pemerintah menaikkan pengeluaran bagi
kepentingan pelayanan publik, dan agar korporasi dan orang kaya membayar pajak
lebih besar. TSCMP mengutip lebih lanjut: “Indonesia telah menikmati sebuah
pembengkakan ekonomi yang telah mengurangi jumlah rakyat yang hidup dalam
kemiskinan ekstrem, tetapi jurang antara kaya miskin semakin melebar dibandingkan
dengan negara Asia Tenggara mana pun selama 20 tahun terakhir, temuan kajian
Oxfam.” Kajian itu juga membeberkan pada tahun 2016, kekayaan kolektif empat
taikun itu berada pada angka 225 miliar dolar Amerika. Menurut daftar orang
kaya dari Forbes, mereka yang terkaya itu termasuk dua bersaudara Michael
Hartono dan Budi Hartono (pemegang saham terbesar Djarum), dan Susilo
Wonowidjojo (anak pendiri Gudang Garam), semuanya adalah penguasaha rokok.
Sebagaimana
kita ketahui, para taikun ini menjadi demikian kaya raya adalah juga karena
sumbangan rakyat miskin perokok yang jumlahnya puluhan juta (catatan : mayoritas rakyat miskin perokok adalah muslim), tersebar dari
kawasan perkotaan menembus sampai ke daerah pelosok yang jauh terpencil di
seluruh nusantara. Di warung-warung, di atas kendaraan, bahkan di ruang ber-AC
(bagi yang sedikit kaya), asap rokok itu terus saja mengepul. Iklan rokok
terpampang di mana-mana, sekalipun di bawahnya tertulis: merokok membunuhmu! Inilah
suasana terkini dari Negara Pancasila kita, ketimpangan ekonomi semakin tajam
yang diragakan dalam perbandingan angka di atas. Pemerintah sudah punya tekad
bulat untuk melawan ketimpangan itu, tetapi alangkah sulitnya. Banyak faktor
penghambatnya, termasuk sikap mental bangsa ini yang sulit berubah ke arah
proses perbaikan radikal dan menyeluruh. Para taikun dan pendukungnya di
Senayan tentu akan berupaya keras agar UU Pertembakauan tidak sampai mematikan
perusahaan mereka yang menggiurkan itu. Dan ironisnya, rakyat jelata yang
ketagihan tembakau adalah sasaran empuk yang turut serta melestarikan
ketimpangan ekonomi itu. Sebuah lingkaran setan yang belum ditemui jalan
keluarnya. Quo vadis Negara Pancasila?
Sumber
: Ahmad Syafii Maarif
Resonansi
www.republika.co.id
Comments
Post a Comment