“Buktikan
bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap
dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem
pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya
oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam
pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah
Konstitusi. Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum
tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam
Indonesia”.
Pada
saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik
dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal
Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia. Saya
mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi
Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan
yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah
khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan
Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat
dan zaman.
Sistem
negara Pancasila
Khilafah
sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa
bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak
ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku. Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem
pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri.
Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara
Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah
sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur
bangsa.
Penjelasan
saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar
itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam
sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas
pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan
apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang
baku karena memang tidak ada. Justru yang harus membuktikan adalah orang yang
mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam
Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba
sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata
saya.
Ternyata
dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya
tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua
terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman. Buktinya,
di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai
sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang
memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah
(republik), dan sebagainya.
Bahwa
di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu
berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran
baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan
tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa
dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy). Kalaulah
yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh
setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.
Di
antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga
berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar
ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur
beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar. Begitu juga Ali ibn Abi
Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah
Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah
Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda. Yang mana sistem
khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan
sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia
merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia
yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.
Berbahaya
Maaf,
sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta
yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan
berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia,
saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu,
misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa
Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri. Mengapa? Kalau ide
khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif
yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan
Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang
berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya. Oleh karena itu,
bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas
dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia.
Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur)
seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah
lama menyimpulkan demikian.
Sumber
: Moh. Mahfud MD
Ketua
Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013
Comments
Post a Comment