Ada
satu pertanyaan yang diajukan penyair Taufik Ismail ketika melakukan survei
kepada tamatan SMA dari berbagai negara. Berapa banyak buku (sastra–non
pelajaran) yang wajib dibaca seorang lulusan SMA? Hasilnya cukup membuat kita
mengurut dada. Dari responden acak yang berasal dari 13 negara tercatat, di
Thailand setidaknya setiap tamatan SMA wajib melahap 5 buku sastra (novel), di
Malaysia dan Singapura 6 buku harus dituntaskan. Sekolah Menengah Atas di
Brunei Darussalam menuntut sedikit lebih tinggi yakni 7 judul. Angka di atas
masih jauh di bawah Rusia yang mewajibkan siswa mengkhatamkan 12 buku, atau
Kanada yang mengharuskan siswanya merampungkan 13 judul. Jepang yang
masyarakatnya dikenal gemar membaca, menetapkan setiap siswa setidaknya menamatkan
15 buku. Angka yang sama juga berlaku di Swiss. Sedangkan Jerman Barat
mewajibkan anak didik di Sekolah Menengah Atas mampu mengenyam 22 judul.
Perancis dan Belanda sebanyak 30 judul. Sementara Amerika serikat memperoleh
peringkat tertinggi dengan menugaskan setiap siswa SMA melumat 32 judul buku
sebelum kelulusan. Kebiasaan membaca yang terbentuk akan tetap terpatri sampai
mereka lulus sekolah karena kemudian menjadi kegemaran.
Lalu
di mana tragisnya? Kenapa harus mengurut dada ?
Ternyata
setelah dilakukan survei di sebagian besar sekolah di Indonesia, siswa wajib
membaca buku sebanyak nihil. Dengan kata lain, sejak SD sampai lulus SMA
seorang siswa di negeri ini tidak diwajibkan membaca buku sama sekali. Sang
sastrawan menyebutnya, tragedi nol buku. Akan tetapi survei tersebut dilakukan
tahun 97-an atau sekitar 20 tahun lalu.
Lalu
bagaimana sekarang ?
Pada
bulan Maret 2016, World’s Most Literate Nations merilis daftar 61 negara yang
diurutkan berdasarkan tingkat kegemaran membaca. Indonesia ada di urutan kedua.
Hebat? Jangan bangga dulu. Karena bangsa ini berada di urutan kedua dari bawah,
sebelum Botswana. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memang menunjukkan tingkat
melek huruf penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas semakin baik dari tahun ke
tahun. Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009-2015,
persentase penduduk yang melek huruf telah melampui angka 90%. Akan tetapi
kemampuan membaca tidak diiringi kebiasaan dan kegemaran membaca. Bisa membaca
namun tak mau membaca, ibarat burung punya sayap tapi tak ingin terbang, punya
mobil tapi hanya terparkir di garasi. Sungguh menyia-nyiakan potensi. Pada
tahun 2012, UNESCO mengungkap indeks tingkat membaca orang Indonesia hanyalah
0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang membaca buku. Jika
penduduk Indonesia berjumlah 250 juta, maka hanya 250 ribu yang memiliki minat
baca. Jauh berbanding terbalik dengan pengguna internet dan sosial media yang
mencapai 80 juta orang di negara ini. Karena itu wajar hoax merajalela di
Indonesia, saking penduduknya terbiasa membaca dari sumber instan yang sering
tanpa referensi. Buku jelas berbeda dengan informasi online khususnya yang
tidak bertanggung jawab. Setiap tulisan dan informasi yang terkandung di dalam
buku biasanya merupakan hasil pemikiran panjang dan riset mendalam yang memakan
waktu, serta dilengkapi kejelasan siapa pengarang, penerbitnya, dll.
Programme
for International Student Assessment beberapa tahun lalu mengungkap rata-rata
orang Indonesia hanya mampu membaca 27 halaman dalam setahun. Dengan kata lain,
butuh 2 pekan untuk membaca 1 halaman. Apakah karena tidak ada dukungan
pemerintah? Tidak juga. Anggaran negara untuk perpustakaan tidak bisa dibilang
kecil. Pada tahun anggaran 2016 mencapai Rp 612 miliar. Uang tersebut, jika
dibelanjakan untuk mencetak buku, cukup untuk menghasilkan 50 juta buku ukuran
menengah. Akan tetapi, ada kisah menarik tentang anggaran ini. Seorang pengurus
asosiasi penerbitan sempat bercerita betapa gembiranya ia ketika mengetahui ada
anggaran besar untuk perpustakaan. Dalam benaknya, dunia penerbitan akan
bergairah karena ada kucuran dana besar untuk mencetak buku guna mengisi
perpustakaan. Ironisnya, setelah ditunggu lama, bahkan hingga tahun anggaran
berakhir tidak ada perubahan apa-apa. Tak ada anggota asosiasi yang mendapat
order melimpah dari anggaran itu, padahal dananya habis terpakai. Setiap tahun
sama saja. Lantas, ke mana lenyapnya anggaran tersebut? Baginya, sampai saat
ini masih menjadi misteri.
Tiga
puluh tujuh tahun lalu, tepatnya 17 Mei 1980, Hari Buku Nasional dicanangkan
dengan momentum peresmian Perpustakaan Nasional. Akan tetapi, sampai hari ini
ternyata PR kita masih panjang untuk membuat masyarakat Indonesia melek bahasa
dan sastra. Semoga saja Gerakan Literasi Nasional yang sedang digagas
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, serta akan dicanangkan sebagai gerakan
nasional, kelak menjelma tenaga dorong yang kuat, hingga Indonesia mampu
menjadi bangsa yang lebih beradab dan bisa mengucapkan selamat tinggal pada
tragedi nol buku.
Sumber
: Asma Nadia
Watiiiirrrrr .....
ReplyDelete