"Jika
engkau menginginkan permusuhan, musuhilah rasa permusuhan yang ada di dalam
dirimu (hatimu). Berjuanglah untuk memadamkan api permusuhan itu dan cabutlah
hingga ke akar-akarnya." [Badi'uzzaman Said Nursi, ulama pembela Turki
Usmani dalam peperangan melawan Rusia]. Hari Bebas Kebencian (Hate Free Day)
untuk Indonesia Damai merupakan tema yang diusung oleh Pusat Media Damai
(PMD)—salah satu unit kerja di bawah naungan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BN-PT). Tema ini sangat relevan dengan kondisi kekinian. Sebab, saat
ini, ruang sosial, baik sosial di dunia maya atau nyata, sudah disesaki oleh
ujaran kebencian, provokasi, hinaaan, dan lain sejenisnya. Parahnya, ujaran
kebencian dan sejenisnya itu seringkali mengarah pada individu maupun kelompok.
Jadi, skalanya sudah tidak sempit dan kecil lagi serta berantai.
Tentu
kondisi semacam itu tidak saja mengkhawatirkan. Lebih dari itu, adalah sebuah
ancaman nyata akan keberlangsungan kehidupan yang harmonis di bumi Indonesia.
Hal ini tidak berlebihan, sebab dalam teori sosial sudah banyak disebutkan
bahwa narasi kebencian yang digaungkan secara terus-menerus, dapat memantik
konflik dan kekerasan dalam skala besar. Apalagi kondisi Indonesia adalah
beragam (multikultural-plural). Bak api dalam sekam, sedikit saja ada angin
maka api langsung membesar. Dalam bingkai itulah, tulisan ini muncul sebagai
salah satu ajakan serius untuk mencegah terjadinya konflik sosial yang berujung
pada perpecahan nasional (chaos). Tentu harapannya adalah, masyarakat akan semakin
dewasa, terutama dalam menghadapi dan menyikapi sebuah perbedaan. Dalam
khazanah agama Islam, perbedaan disebut sebagai rahmat. Mohammad Assad, dalam
tafsirnya mengatakan bahwa: "Perbedaan adalah rahmat bagi orang yang
terdidik."
Pernyataan
Assad sangat menarik, karena ia menambahkan kata-kata "bagi orang yang
terdidik". Jadi, perbedaan dipandang sebagai sebuah rahmat hanya berlaku
bagi orang-orang yang terdidik. Hal ini tampak sangat relevan jika kita tengok
cara beragama yang dipraktikkan oleh ulama salaf. Betapa tajamnya pendapat
antarmereka, mereka tetap bersahabat baik, tidak saling, tidak saling
menjatuhkan. Bacalah sejarah kisah Imam Syafi'i ketika berziarah ke makam Imam
Abu Hanifah. Kedua ulama fiqih generasi awal itu alim di bidang yang sama.
Namun, keduanya memiliki perbedaan pendapat (dalam hal furu'), seperti qunut.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa membaca qunut dalam Salat Subuh hukumnya sunnah
ab'adl (kalau lupa/tertinggal disunatkan sujud sahwi), sementara dalam ajaran
atau pendapat Abu Hanifah menolak kesunahan membaca qunut dalam Salat Subuh.
Namun,
pengarang kitab induk uslul fiqh ar-Risalah dan pendapatnya dianut oleh
mayoritas Mulsim di Indonesia ini, ketika mukim di Qubbah, makam Abu Hanifah,
ketika menunaikan Salat Subuh, beliau tidak pernah melakukan qunut. Mengapa?
Kata Imam Syafi'i: "Karena Imam Abu Hanifah menolak kesunahan membaca
qunut dalam Salat Subuh. Saya tidak membaca qunut sebagai bentuk penghormatan
kepada beliau." Imam Hanafi dan Syafi'i adalah ulama panutan. Jika beliau-beliau
sudah meneladankan hal seperti itu. Maka, tidak ada alasan bagi kita untuk
tidak meneladani sikap beliau-beliau dalam kehidupan kita ini. Inilah
pendidikan tentang bagaimana perbedaan itu tidak menjadi sumber perpecahan,
melainkan justru sumber kekuatan.
Seorang
penyair kondang Abdullah ibn Mu'awiyah ibn Abdullah ibn Ja'far ibn Abi Thalib,
yang dikutip oleh Sayyid Nursi dalam salah satu maktubat-nya, berkata:
"Mata cinta terlalu suram untuk melihat kesalahan, sementara mata benci
menampakkan semua keburukan." Syair tersebut memberikan pesan mendalam
bahwa kita tidak boleh menganggap hanya manhaj atau pendapatku benar, atau
lebih baik, sementara yang lain sesat. Sebab, pandangan seperti itu merupakan
pandangan yang penuh kebencian. Dan lagi, pendapat Anda itu terbatas sehingga
tidak bisa menjadi tolok ukur dan penentu yang menetapkan kekeliruan pendapat
orang lain (dalam Said Nursi, 2017).
Dengan
demikian, paradigma atau cara berpikir yang harus kita gunakan dalam konteks
menyikapi sebuah perbedaan adalah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul
Qodir Al Jilani: "Kita harus meyakini kebenaran pendapat yang kita pilih
seraya menghormati pendapat orang lain. Inilah sikap bijak sana yang harus kita
jadikan sebagai pedoman hidup, terutama dalam menyikapi perbedaan, baik dalam
ranah politik, sosial, dan lainnya. Jadi, sikap yang harus dilestarikan di
tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia ini, adalah menganggap perbedaan
adalah suatu yang biasa. Ini mengisyaratkan bahwa kita sudah seharusnya
meninggalkan sikap yang gemar memproduksi ujaran kebencian. Kita lestarikan
sikap inklusif dan toleran serta legowo. Jika sudah demikian, maka suasana
tenang dan harmonis akan selalu tercipta, sekalipun di tahun politik!
Dalam
pandangan hakikat, narasi-narasi negatif (kejahatan) yang menjadi sebab
timbulnya permusuhan dan kebencian itu bersifat "padat". Sebagaimana
yang mafhum, bahwa sifat benda padat tidak dapat berpindah, dan juga tidak
dapat memantul pada yang lain. Sedangkan kebaikan (perdamaian, dll) bersifat
halus bak cahaya. Artinya, sifat kebaikan dapat pindah dan memantul pada yang
lain. Ini sesuai dengan pepatah: "karena kebaikan satu orang, seribu orang
dimuliakan." Karena itu, kedengkian, kebencian dan permusuhanmu terhadap
orang atau kelompok tertentu, yang berlainan pendapat dan pandangan, harus
segera dihentikan. Karena sikap tersebut tidak hanya membahayakan persatuan dan
persaudaraan, melainkan juga sangat bertentangan dengan kebenaran. Dalam bahasa
Badi'uzzaman Said Nursi, jika engkau menginginkan permusuhan, musuhilah rasa
permusuhan yang ada di dalam dirimu (hatimu)! Wallau a'lam bi al-shawab.
Sumber
:
https://news.detik.com oleh Muhammad Najib
Comments
Post a Comment