Kemarahan
dapat muncul dalam situasi dan kondisi apa pun pada diri seseorang. Ketika
kemarahan membuncah pada diri seseorang, segala sifat buruk yang ada dalam
dirinya akan sangat sulit dikendalikan. Rasa malu pun berganti dengan segala
sifat buruk demi melampiaskan kemarahan pada benda, hewan, dan orang-orang yang
ada di sekitarnya. Sebaiknya, jika seseorang berada pada situasi amarah
memuncak segera hilangkan atau salurkan pada hal-hal yang tidak melanggar
perintah Allah dan tidak merugikan orang lain.
Keburukan
amarah yang berlebihan itu tergambar ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya
sedang duduk-dukuk bersama. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah seorang
laki- laki yang tanpa sebab memaki-maki Abu Bakar. Namun, Abu Bakar hanya diam
dan berusaha tenang. Ketika sampai pada cacian yang ketiga, Abu Bakar bereaksi
dengan menampakkan kemarahannya kepada laki-laki itu. Rasulullah pun lalu
berdiri. Kemudian, Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa pendapatmu
tentang aku ?”, Beliau menjawab, “ Malaikat turun dari langit dan mendustakan
setiap yang dikatakan orang ini kepadamu, tetapi engkau memberikan reaksi,
malaikat itu pun pergi dan kemudian diganti dengan kehadiran setan. (HR. Abu
Bukhari dan Dawud).
Melalui
cuplikan hadis di atas, Rasulullah SAW mengingatkan para sahabat dan
pengikutnya agar berusaha mengendalikan emosi, amarah, dan kebencian yang
berkepanjangan. Sebab, karakteristik Muslim sesungguhnya itu adalah mereka yang
mampu memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, ramah kepada orang yang
sombong dan angkuh, santun kepada orang fasik, sabar kepada orang yang mencela,
dan bermurah hati kepada orang yang menyakiti. Termasuk berbakti kepada
saudara-saudaranya dan mencintai saudara-saudaranya. Sebagaimana yang
digambarkan Allah SWT, “ Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar
dan perbuatan-perbuatan keji, apabila mereka marah, mereka memberi maaf.” (QS
as-Syura [42]: 37).
Karakteristik
umat Islam itu juga melekat pada pribadi Nabi Yusuf AS. Meskipun Nabi Yusuf
pernah dibuang oleh saudara-saudara tirinya ke dalam sebuah sumur yang dapat
mengakibatkan kematian dirinya, ketika bertemu kembali dengan saudara-
saudaranya, yang kala itu Nabi Yusuf sudah menjadi pejabat yang terpandang di
Mesir, beliau tidak mengumbar amarah kepada saudara-saudaranya itu. Nabi Yusuf
justru memaafkan kesalahan mereka dengan memberikan pertolongan kepada
saudara-saudaranya yang dhuafa itu. Padahal, saudara-saudaranya itu pernah
berlaku tidak manusiawi terhadap Nabi Yusuf. Kepribadian memaafkan Nabi Yusuf
ini senapas dengan yang diperintahkan Allah SWT, “ Dan bersegeralah kamu
mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang yang
berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang
berbuat kebaikan.” (QS Ali- Imran [3]: 133-134).
Sumber
: https://www.republika.co.id
Comments
Post a Comment