Copyright (C) John Atkinson |
Kita
hidup pada era di mana banyak orang yang gelisah tatkala pergi tanpa
mengantongi smartphone miliknya. Mengirim pesan teks dan gambar baik untuk
keperluan pekerjaan atau sekadar bersenang-senang menjadi hal yang sangat mudah
asal ponsel dalam genggaman. Sayangnya selain memudahkan akses komunikasi,
smartphone rupanya juga dapat menumpulkan empati. Bulan Ramadhan ini, Indonesia
kehilangan dua tokoh bangsa. Pertama adalah Ustaz Arifin Ilham yang wafat pada
22 Mei di Penang Malaysia. Tokoh kedua yang
dipanggil Allah adalah mantan ibu negara Ani Yudhoyono. Almarhumah
meninggal pada 1 Juni kala dirawat di Singapura. Keduanya adalah sosok yang
sama-sama punya nama dan pengaruh besar di Tanah Air. Tak ayal ucapan duka dan
doa pun mengalir deras dari berbagai elemen masyarakat saat keduanya berpulang.
Akan tetapi di antara doa-doa baik tersebut, selalu saja kita dapati
suara-suara sumbang dari netizen yang terhormat. Alih-alih mendoakan, sebagian
netizen justru ada yang menjadikan berita duka menjadi ladang seteru. Mulai
dari yang berkomentar nyinyir soal kehidupan rumah tangga Ustaz Arifin Ilham,
hingga membawa-bawa rivalitas cebong dan kampret di tengah duka meninggalnya
Ani Yudhoyono.
Dahi saya mengernyit membaca sederet kalimat
bernada sumbang tersebut. Ini sedang dalam suasana berkabung lho, bulan
Ramadhan pula. Tak bisakah orang-orang menahan jari jemarinya demi menghormati
orang yang sudah meninggal dan keluarga yang ditinggalkan ? Inikah potret
sesungguhnya masyarakat Indonesia yang selalu digembar-gemborkan berbudi
pekerti luhur dan menjunjung tinggi sopan santun ? Bahkan saya sempat membaca
sebuah akun Facebook yang menyatakan tidak akan mengucap Innalillahi untuk
mendiang Ani Yudhoyono karena almarhumah belum berjilbab dan bernama Kristiani.
Pantaskah pernyataan itu diungkapkan terlebih di dunia maya yang nyaris tanpa
sekat ? Postingan tersebut memang akhirnya dihapus namun jangan lupa jejak
digital akan selalu ada.
Postingan
lain yang berisi tangkapan layar status yang sudah dihapus itu pun menjadi bulan-bulanan
warganet di Twitter. Konten-konten kontroversial di media sosial memang bisa
dihapus. Tetapi tunggulah sampai ia menerkam balik si pengunggah. Tanpa perlu
menyebut secara spesifik, contoh kasus sudah banyak kita saksikan. Berdasarkan
survei YouGov Omnibus berjudul Social Media Regrets yang rilis 2015, sebanyak
57 persen warga AS menyesali apa yang pernah mereka posting di media sosial.
Mereka merasa bersalah terhadap apa yang sudah diunggah karena membuatnya
terlihat bodoh dan bereputasi buruk di tempat kerja. Sebanyak 21 persen
responden mengkhawatirkan perjalanan kariernya di masa depan akibat postingan
'bodoh' yang pernah dibuatnya. Sedangkan 14 persen responden cemas jika suatu
saat nanti konten-konten yang pernah ia kirim akan mengganggu keharmonisan
dengan keluarga atau pasangan.
Studi
lain pada 2018 oleh Accenture Security mendapati enam dari 10 orang di Inggris
menyesali apa yang pernah mereka unggah secara daring. Sebanyak 47 persen dari
dua ribu responden yang disurvei berharap dapat menghapus secara permanen
postingannya. Mereka khawatir postingan itu disalahgunakan pihak lain di masa
depan. Blunder di media sosial dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja.
Akun medsos yang dikunci dan foto profil yang tak menunjukkan wajah bisa
membuat netizen merasa aman dengan apapun yang diungkapkannya bahkan jika itu
'sampah' sekalipun. Kita baru menyadari kesalahan jika sudah menjadi viral dan
memanen risakan dari berbagai penjuru.
Usai
Ramadhan yang suci, marilah kita juga introspeksi terhadap segala yang sudah
pernah kita lakukan di dunia maya. Sudahkah kita berpikir masak-masak sebelum
meninggalkan komentar atau mengunggah sesuatu di internet ? Sebelum memposting
apapun pertimbangkan dengan hati-hati dampaknya. Apakah komentar dan unggahan
tersebut menjadikan kita orang yang lebih keren dan punya reputasi positif atau
sebaliknya ? Apakah kita memberikan kontribusi yang baik atau justru
memperkeruh suasana ? Put yourself in someone's shoes, demikian sebuah bunyi
sebuah idiom. Imajinasikan bagaimana jika kita berada pada posisi yang
dikomentari (nyinyir). Enakkah rasanya ? Sedihkah rasanya ? Ingat, sasaran yang
kita komentari juga manusia yang punya perasaan. Jangan sampai smartphone yang
harusnya bisa mencerdaskan malah membuat kita terlihat stupid dan kering
empati.
Sumber
: REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christia Ningsih
Comments
Post a Comment