Guru
adalah seseorang yang digugu dan ditiru. Sejatinya orangtua kita adalah guru.
Ulama adalah guru. Orang lain yang kita
tidak kenal lalu menunjukkan satu kebaikan juga adalah guru. Bahkan Nabi SAW
sendiri mengaku sebagai guru, seperti sabdanya, “Sungguh aku telah diutus (oleh
Allah SWT) sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah). Pahala memuliakan guru
adalah surga. Nabi SAW bersabda seperti yang dikutip dalam Lubab al-Hadits oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, “Barangsiapa
memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku.
Barangsiapa memulikan aku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah. Barangsiapa
memuliakan Allah, maka tempatnya di surga”. Surga adalah satu tempat yang
luasnya seluas langit dan bumi. Surga itu “Disiapkan untuk orang-orang
bertakwa.” (QS. Ali Imran/3: 133). Dalam ayat lain disebutkan bahwa surga itu,
“Disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.”
(QS. al-Hadid/57: 21). Maka beruntungah orang yang memuliakan guru karena akan
memperoleh surga. Hadits ini mempertegas perbedaan kedudukan antara orang
berilmu dan yang tidak berilmu. Secara retoris Allah SWT bertanya,
“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. al-Zumar/39: 9).
Dalam
sejarah Ali bin Abi Thalib diketahui sebagai orang yang sangat memuliakan guru.
Hal ini seperti perkataannya yang diabadikan oleh Syaikh al-Zarnuji dalam
kitab al-Ta’lim al-Muta’allim. Kitab ini
dikenal secara luas dan dipelajari sebagai standardisasi moral dalam proses
belajar-mengajar selama berabad-abad pada pondok pesantren di Indonesia. Ali
bin Abi Thalib berkata, “Aku menjadi hamba bagi orang yang mengajariku satu
huruf ilmu. Terserah orang yang mengajariku. Ia mau menjualku, memerdekakanku,
atau tetap menjadikan aku sebagai hamba sahayanya.” Dalam kesempatan lain Ali bin Abi Thalib
berkata, “Barangsiapa mengajari aku satu huruf, maka baginya seribu dinar.” Cara
Ali bin Abi Thalib dalam memuliakan gurunya, senada dengan sabda Nabi SAW,
“Barangsipa yang mengajarkan satu ayat dari Kitab Allah kepada seseorang, maka
orang itu menjadi hamba baginya.” (HR. Thabrani). Hamba yang dimaksud dalam
konteks ini bukanlah hamba sahaya atau budak, tapi orang yang harus mengabdi
sepenuh hati kepada guru.
Bagi
Syaikh al-Zarnuji, di antara perbuatan
menghormati guru adalah tidak melintas di hadapannya, tidak menduduki
tempatnya, tidak memulai berbicara kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara di
sebelahnya, dan seorang murid hendaknya tidak mengetuk pintu rumahnya. Syaikh
al-Zarnuji juga berpesan agar tidak bertanya yang pernah ditanyakan. Diceritakan
oleh Syaikh al-Zarnuji bahwa Khalifah Harun al-Rasyid menyerahkan anaknya
kepada Imam al-Ashma’i untuk belajar ilmu agama dan akhlak mulia. Pada suatu
hari ketika menjenguk anaknya, Khalifah melihat Imam al-Ashma’i sedang berwudhu
dan membasuh sendiri kakinya sedang yang menuangkan airnya adalah putra
Khalifah sendiri. Menyaksikan hal itu, Khalifah menegur Imam al-Ashma’i seraya
berkata kepadanya, “Aku menyerahkan anakku kepada Anda agar Anda mengajar dan
mendidiknya. Mengapa Anda tidak memerintahkan kepada anakku agar satu tangannya
menuangkan air dan tangan yang satu lagi membasuh kakimu?” Inilah cara Khalifah
Harun al-Rasyid memuliakan guru anaknya. Seperti apapun hebatnya kita saat ini
pastilah kita telah berutang budi kepada guru kita. Cara untuk memuliakan guru
di antaranya adalah mendoakannya. Nabi SAW berpesan, “Siapa yang memberikan
kebaikan untukmu, maka balaslah. Jika kamu tidak mampu membalasnya, doakanlah
ia hingga kamu yakin telah benar-benar membalasnya.” (HR. Abu Daud).
Oleh
Dr KH Syamsul Yakin MA
Sumber
: https://republika.co.id/
Comments
Post a Comment