Rasisme
mengklaim bahwa isi pikiran seseorang itu diwariskan. Sebuah keyakinan tentang
nilai dan karakter seseorang, itu ditetapkan sebelum dia lahir. Pandangan khas
manusia gua di zaman pra sejarah tentang doktrin akan ide-ide bawaan (genetik).
Doktrin sesat ini tentu ditolak oleh filsafat dan sains, yang menyatakan
pandangan itu tak ubahnya pandangan akan hutan yang merupakan
"kandang" bermacam-macam ternak tentang kolektivisme. Itu cocok untuk
mentalitas yang membedakan jenis binatang dengan binatang lainnya, tapi tidak
antara binatang dan manusia. Rasisme menegasikan dua aspek kehidupan paling
fundamental bagi manusia, akal budi dan moralitas. Lalu menggantinya dengan
takdir turunan, dan itu adalah genetika. Seolah itu menegakkan aturan melekat
yang tidak dapat "diusik" oleh faktor empiris sekalipun. Inilah
bentuk kolektivisme paling primitif, sesat dan barbar yang coba dipertahankan
hingga kini. Rasisme
modern berusaha membuktikan klaim keunggulan ras tertentu, biasa disebut
inferioritas ras, dengan historisasi dari kelompoknya. Digambarkan dengan
kemampuan otak superior itu hanya ada pada ras-ras tertentu, tapi tidak pada
ras lainnya. Hitler di antaranya yang menganggap ras Aria bangsa Jerman adalah
ras unggul dibanding dengan ras lainnya. Klaim unggul dari ras lainnya,
memunculkan gap antara "ras unggul" dan "ras tidak unggul".
Muncullah perlakuan semaunya atas nama ras unggul. Klaim keunggulan ras
tertentu meski tidak dapat dibuktikan, terus saja hidup dan subur dengan
bentuknya yang lain. Era perbudakan dihapus, tapi pembunuhan mental atas ras
tertentu sebagai "budak selamanya" masih tetap berlangsung,
dilestarikan turun-temurun. Inilah ketidakadilan yang dipertontonkan sejak
zaman pra sejarah hingga abad ini. Dan kasus George Floyd adalah pemantik
perlawanan atas perlakuan yang tidak selayaknya, itu bukan baru dimulai, tapi
eskalasi kemarahan yang dibangun sekian lama atas nama penindasan manusia
paling hina.
Bentuk
protes kemarahan yang dimunculkan sampai pada tingkat aksi vandalisme yang
tidak saja dimulai dari Minneapolis, AS, ke kota-kota besar lainnya di sana,
tapi juga menyeruak ke Eropa. Perlawanan atas hegemoni kekuasaan yang
memperkosa psikologi massa, tidak saja kulit berwarna, Afro Amerika tapi
perlawanan dari sebagian ras kulit putih sendiri yang sadar selama ini
termarjinalkan oleh pikiran sesat, yang hinggap sebagai perilaku sehari-hari
tanpa disadarinya. Saatnya
kini perlakuan kesewenang-wenangan, yang dibangun atas ketidakadilan dan
eksploitasi manusia atas manusia diakhiri. Ilusi bahwa ras tertentu lebih
unggul itu harus dikubur selamanya. "Kita harus mulai dari mana semuanya
itu berasal," teriak aktivis Chelsea Higgs-Wise, kepada para demonstran
Black Lives Matter (Rabu, 10/6/2020). Lalu, lanjutnya bersemangat, "Kita
mulai dari orang-orang yang pertama kali berdiri di tanah ini." Maka
sasaran diarahkan pada patung Christopher Columbus. Patung penjelajah asal
Italia jadi sasaran kemarahan demonstran anti-rasisme. Columbus dianggap
sebagai simbol perbudakan yang memunculkan sentimen ras. Columbus (1492)
dikenal sebagai penemu benua Amerika, meski belakangan terkoreksi oleh temuan
sejarah mutakhir dan menganulirnya. Namun Columbus dianggap sebagai pionir
praktik kolonialisme atas penduduk asli benua Amerika. Karenanya, patungnya
setinggi delapan kaki jadi sasaran kemarahan. Patung itu dicoret-coret, dan
salah satu coretan yang menonjol di antara lainnya adalah "Columbus
Mewakili Genosida". Tidak cukup sampai di situ, patung itu diikat dengan
tali dan lalu ditarik seribuan demonstran, dan robohlah patung itu. Lalu
diseret beramai-ramai dan dilemparkan ke danau di kawasan Virginia.
Peristiwa
merobohkan patung-patung simbol kolonialisme ini tidak saja di Amerika, tapi
menyeruak ke belahan Eropa lainnya. Di Inggris, para demonstran merobohkan
patung pedagang budak abad ke-17, Edward Colston. Patung Colston itu
dikintirkan ke sungai Avon, Bristol. Di Belgia pun, para demonstran marah, dan sasaran diarahkan pada
patung Raja Leopold II. Patung itu dirobohkan, karena dianggap sebagai simbol
kolonialisme di negara-negara Afrika Tengah. Dan itu berlanjut di tempat-tempat
lainnya. George Floyd, ras Afro-Amerika, ini bukan siapa-siapa. Sebelum
peristiwa pembunuhan itu terjadi. Tidak banyak yang mengenalnya. Dia orang
biasa saja, bahkan terbilang miskin. Tapi setelah peristiwa 4 polisi kulit
putih membunuhnya, maka namanya mengisi ruang publik begitu luas, menaruh
simpati atasnya. Seluruh elemen masyarakat bergerak dan marah bersama atas
perlakuan tidak manusiawi. Itulah pemantik koreksi atas kesewenang-wenangan,
khususnya pada ras Afro-Amerika. Eskalasinya menjadi meluas : dari perlawanan
atas institusi kepolisian, yang melakukan tindakan biadab. Tidak berhenti di
situ, tapi meluas sampai penjarahan toko-toko besar yang dilambangkan dengan
kaya-miskin. Dan itu bernama kesenjangan sosial. Meski tensi ketegangan,
khususnya di Amerika itu mulai mereda, tapi setidaknya ini awal dari
"ledakan" sosial yang lebih dahsyat lagi bisa saja terjadi, jika
regulasi dan kebijakan tidak diubah dengan lebih "memfasilitasi"
kelompok marjinal lebih baik lagi. Bukan dimanja, tapi diperlakukan sama dan
selayaknya. Konflik sosial atas nama ras tampaknya tetap akan mewarnai
perjalanan sebuah bangsa, dan dampaknya akan melintas ke semua belahan dunia,
cepat atau lambat. Dan itu bersumber pada ketidakadilan dan persamaan hak. Kisah
George Floyd akan terus dikenang sebagai martir, meski tidak diharapkannya,
tapi mampu menggerakkan kesadaran baru bahwa rasisme menjadi musuh bersama. Dan
itu harus diakhiri.
Tulisan
ini setidaknya diilhami oleh Esai dari Ayn Rand, "Racism", yang termuat
dalam The Virtue of Selfishness, A New Consept of Egoism, yang begitu menarik.
Penulis:
Ady Amar, penikmat buku, dan pemerhati sosial, tinggal di Surabaya.
Sumber
: https://republika.co.id/
Comments
Post a Comment