Pada
suatu hari, Rasulullah SAW sedang ditemani banyak sahabat. Tiba-tiba, lewat
jenazah diantar menuju ke pemakaman. Rasulullah berdiri, seperti memberi
hormat. Disampaikan kepada beliau bahwa jenazah itu orang Yahudi, tak pantas
memperoleh penghormatan. Namun, Nabi balik bertanya, “Alaisat nafsan (bukankah
ia juga manusia)?" (HR Bukhari dan Muslim). Riwayat ini dikutip oleh Syekh
Qardhawi sebagai salah satu contoh toleransi Islam. Dikatakan, toleransi adalah
sikap menghormati dan menghargai adanya perbedaan-perbedaan, baik pendapat,
pemikiran, agama, dan adat istiada (budaya). Toleransi selanjutnya bermakna
membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia (hablun minannas). Dalam
Alquran ditemukan banyak contoh soal teleransi. Dalam kontes keluarga, misalnya,
disebutkan apabila kedua orang tua kita menyuruh kepada agama lain
(kemusyrikan), kita tidak boleh mematuhinya karena dalam Islam tiada kepatuhan
kepada makhluk apabila durhaka kepada khalik. Namun demikian, kita disuruh
tetap membangun hubungan yang baik dengan kedua orang tua (baca: QS Luqman
[31]: 15). Dalam konteks kemasyarakat lebih luas, disebutkan bahwa orang-orang
yang mulia berkenan memberi bantuan dan donasi kepada orang-orang lemah, orang
miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS al-Insan [76]: 8). Yang
dimaksud dengan orang yang ditawan ketika ayat ini turun tentu adalah kafir
Quraisy Mekah yang bukan hanya berbeda agama, melainkan musuh yang sangat anti
Islam. Begitupun, Allah SWT meminta Nabi dan kaum Muslim agar memperlakukan tawanan
perang dengan santun.
Toleransi
Islam, menuret Qardhawi, berakar pada empat prinsip. Pertama, prinsip
keragaman, pluralitas (al-ta`addudiyah). Keragaman sejatinya merupakan watak
alam, dan bagian dari sunanatullah. Orang Muslim, kata Qardhawi, meyakini
Keesaan Allah (al-Khalik) dan keberagaman ciptaan-Nya (makhluk). Dalam
keragaman itu, kita disuruh saling mengenal dan menghargai. (QS al-Hujurat
[43]: 13). Kedua, prinsip bahwa perbedaan terjadi karena kehendak Tuhan (waqi`
bi masyi’atillah). Alquran sendiri menegaskan bahwa perbedaan agama karena
kehendak-Nya. Allah SWT tentu tidak berkehendak pada sesuatu kecuali ada
kebaikan di dalamnya. Kalau Allah menhendaki maka semua penduduk bumi menjadi
Islam. Namun, hal demikian tidak dikehendaki-Nya. (QS Yunus [10]: 99). Ketiga,
prinsip yang memandang manusia sebagai satu keluarga (ka usrah wahidah). Semua
orang, dari sisi penciptaan, kembali kepada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan
dari sisi nasab, keturunan, ia kembali kepada satu asal (bapak), yaitu Nabi
Adam AS. Pesan ini terbaca dengan jelas dalam surah al-Nisa ayat 1 dan dalam
deklarasi Nabi SAW yang amat mengesankan pada haji wada`. Keempat, prinsip
kemuliaan manusia dari sisi kemanusiannya (takrim al-Insan li-insaniyyatih).
Manusia adalah makhluk tertingi ciptaan Allah, dimuliakan dan dilebihkan atas
makhluk-makhluk lain (QS al-Isra [17]: 70), dan dinobatkannya sebagai khalifah
(QS al-Baqarah [2]: 30). Penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi dilakukan
semata-mata karena kemanusiannya, bukan warna kulit, suku, atau agamanya. Toleransi
Islam diajarkan dalam konteks sosial, bukan vertikal dengan satu tujuan, yaitu
mewujudkan rasa aman dan damai. (QS Quraisy [106]: 3-4). Wallahu a`lam!
Sumber
: Republika.Co.Id
Oleh
: A. Ilyas Ismail
Comments
Post a Comment