Shalat Idul Adha 2020 di Surabaya dengan aturan social distancing (Foto : Getty Images)
Nuansa ibadah qurban adalah ketuhanan
(esoterik) dan kemanusiaan (eksoterik). Esoterianisme qurban terletak pada
ritualitas yang menjadi bagian inheren dari ibadah vertikal. Oleh karena itu
wajar jika banyak pakar keislaman menyebut qurban sebagai momentum pembuktian
kesetiaan hamba kepada Tuhannya. Kesan ini begitu menghujam dalam kisah yang
dituturkan Alquran tentang kesalihan Ibrahim dan putranya, Ismail. (QS 37: 102—108). Sedangkan letak eksoterianisme
qurban berada pada manfaat sosial yang ditimbulkan oleh ritualitas tersebut.
Secara fisikal, qurban disimbolkan dengan penyembelihan hewan ternak tertentu
yang dagingnya dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya. Hal ini
dimaksudkan agar terwujud solidaritas dan tenggang rasa antar-sesama. Agaknya
inilah makna sosial yang dikandung oleh syariat qurban. Namun, tidak semua kita
mampu menangkap kedua dimensi ibadah qurban ini. Banyak orang terjebak pada
kesadaran ketuhanan (God consciousness) an sich dan melupakan kesadaran sosial
(humanity consciousnes) yang justru lebih esensial, atau sebaliknya, terlampau
asik dengan kemeriahan nisbi dan melupakan spiritualitas sejati. Akibatnya,
makna esoterik dan eksoterik yang sejatinya menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam ibadah qurban justru gagal terwujud.
Ada kisah fenomenal yang diabadikan
Alquran tentang persaingan sengit dua putera Adam AS Habil dan Qabil. Keduanya
mencoba menarik perhatian Adam demi memperoleh apa yang diinginkannya. Kemudian
Adam menguji mereka agar berqurban kepada Tuhan. “...Ketika kedua putera Adam
mempersembahkan “qurban”, maka Allah menerima salah satu dari keduanya (Habil)
dan menolak yang lainnya (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu!”.
Kemudian Habil berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban orang-orang
yang bertakwa”. (QS 5: 27) Kisah tersebut memberi gambaran, bahwa betapapun
banyak dan bagus suatu persembahan (qurban) jika tidak dilandasi dengan
keimanan dan keikhlasan, maka tidak akan bernilai apa-apa di hadapan Tuhan. Di
sinilah makna signifikan dari keikhlasan dan kesucian hati ketika berqurban.
Oleh karena itu, kesadaran Rabbaniyyah atau kesadaran Rabbiyyah adalah menjadi
prasyarat utama diterimanya suatu pengorbanan kepada Tuhan. Dimensi esoterik
ibadah qurban memang terkait erat dengan makna literal “qurban”, yang berarti
dekat atau mendekatkan diri. Maksudnya, seorang hamba sejatinya selalu
mendekatkan diri kepada Tuhan lewat apa yang dimiliki, bahkan yang paling
dicintai (QS 3: 92).
Sementara ini kita sering memaknai
secara gampang dan gegabah. Qurban dianggap ibadah bagi elite umat yang
memiliki kekayaan dan kedudukan, lain tidak. Bahkan yang lebih salah kaprah,
qurban dianggap sebagai rezeki tahunan orang miskin. Memandang qurban sebagai
kebutuhan orang miskin adalah pemahaman yang jelas keliru. Karena jika menilik
makna literalnya, yakni mendekatkan diri kepada Allah, maka yang justru
membutuhkan dan diuntungkan adalah mereka yang berqurban. Apabila berangkat
dari pemahaman semacam ini, maka yang akan muncul adalah kesadaran spiritual yang
mendalam dan jernih tentang pentingnya berqurban bagi dirinya. Dimensi
eksoterik erat kaitannya dengan hubungan horizontal (habl min al-nas) antar sesama
manusia, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan menyembelih hewan qurban, yang
dagingnya dibagikan secara adil kepada masyarakat di sekitarnya, menunjukkan
bahwa solidaritas sosial perlu dibangun dalam rangka memperkokoh dan
memperteguh bangunan sosial-kemasyarakatan. Dengan penyembelihan hewan qurban,
seseorang akan menyadari bahwa sikap egois, serakah, dan bentuk-bentuk sikap
hedonis lainnya tiada lain hanyalah karakteristik yang akan meruntuhkan
sendi-sendi bangunan sosial yang telah terbangun.
Dari titik ini juga akan memunculkan
kesadaran esensial, bahwa untuk memperkuat bangunan sosial diperlukan
pengorbanan dalam arti yang lebih luas dari masing-masing individu anggota
masyarakat. Dalam hal ini, kesediaan untuk menyembelih hewan qurban di Hari
Raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq hanyalah simbol dan cerminan tentang
betapa pentingnya setiap anggota masyarakat melakukan pengorbanan demi
terwujudnya kehidupan sosial yang tangguh. Dalam arti kata lain, kesediaan
untuk menyembelih hewan qurban harus pula diikuti dengan kesediaan untuk
berkorban dalam bentuk dan langgam yang lain, seperti tenggang rasa,
tolong-menolong, saling membantu, menghargai perbedaan, toleransi, dan
sebagainya. Tanpa diikuti dengan kesediaan untuk berkorban demi masyarakat
dalam pelbagai bentuk pengorbanan, maka ibadah qurban tidak akan memiliki
hikmah dan pengaruh (atsar) yang sempurna bagi seseorang. Ibadah qurban, dengan
demikian, baru akan memiliki hikmah yang besar bagi seseorang dan bagi
masyarakat, jika diikuti dengan kesediaan berkorban untuk masyarakat, bangsa,
dan negara. Dengan demikian, syariat ibadah qurban sesungguhnya menjadi
barometer yang bersifat vertikal dan horizontal tentang seberapa jauh
kesetiaan, pengorbanan, dan pengabdian kita terhadap nilai-nilai ketuhanan
(esoterik) dan nilai-nilai kemanusiaan (eksoterik). Oleh karena itu,
pengorbanan yang diterima dan absah adalah ibadah qurban yang berdampak
spiritual terhadap diri pribadi dan membawa pengaruh posistif bagi terbentuknya
bangunan sosial yang kokoh, terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti saat
sekarang.
Sumber : https://republika.co.id/
Oleh Dr Ahmad Tholabi Kharlie, Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Comments
Post a Comment