Salah satu cabang dari keimanan,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW, adalah rasa malu (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasa malu (al-haya) didefinisikan sebagai suatu sifat dalam jiwa manusia yang
mendorongnya untuk melakukan kebaikan, kebajikan, dan ketaatan, serta
mencegahnya dari perilaku buruk, tercela, dan yang memalukan. Tanpa rasa malu,
manusia tidak memiliki kontrol diri, sehingga berbuat apa saja tanpa peduli
apakah yang dilakukan itu perbuatan tercela, perbuatan sia-sia, merugikan diri
sendiri, atau merugikan orang lain. Rasa malu adalah pengendali nafsu. Rasa
malu mencegah kita dari perbuatan yang melampaui batas. Rasa malu seyogianya
kita terapkan, yakni rasa malu terhadap keburukan. Rasa malu akan membuat kita
mengindahkan moralitas. Jika kita berilmu, tapi tak dimanfaatkan dalam
kebaikan, alangkah malunya kita.
Jika kita berkuasa, tetapi digunakan
untuk menzalimi rakyat, alangkah malunya kita. Jika kita memiliki kedudukan
tinggi di masyarakat, tapi berbuat tercela, alangkah malunya kita. Banyak kisah
dari kepemilikan rasa malu, seperti Nabi Yusuf yang tak terjebak pada hasrat
Zulaikha karena malu kepada Allah SWT. Kisah lainnya ketika Umar bin Khattab
bersua anak penggembala. Umar meminta anak itu menjual seekor kambingnya. Si
anak penggembala berucap, “Kambing-kambing ini bukan milikku, dan majikanku
tidak mengizinkan aku menjualnya.” Umar menjawab, “Juallah satu ekor saja, aku
akan memberimu uang. Katakan kepada majikanmu, serigala telah memakan seekor
kambingnya.” Si anak penggembala pun menjawab, “Kalau begitu, di mana Allah ?” Ucapan
“Kalau begitu, di mana Allah ?” selayaknya terhunjam dalam jiwa kita. Betapa
malunya apabila kita arogan, melakukan korupsi, menzalimi orang lain, dan
perbuatan bejat lainnya. Malulah kepada Allah SWT yang senantiasa melihat
keburukan yang kita lakukan.
Rasa malu mengendalikan sikap, tutur
kata, dan tindakan kita. Rasa malu menjaga perbuatan baik tetap dalam proses
yang benar. Misalnya, seorang suami mencari nafkah berarti telah menjalankan
kewajibannya sebagai kepala keluarga. Hal tersebut baik. Namun, jika dalam
mencari nafkah melakukan kecurangan, nilai “baik” itu hilang tak ada artinya. Rasa
malu tumbuh dalam hati dan pikiran, sehingga dalam hal apa pun prosesnya takkan
pernah menyimpang. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian malu kepada Allah
dengan sebenar-benar malu. Barang siapa yang malu kepada Allah dengan
sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandung di dalamnya, dan hendaklah ia
selalu ingat kematian dan busuknya jasad.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim,
dan al-Baghawi). Rasa malu adalah kekuatan ruhani agar tak terkalahkan oleh
nafsu atau kepentingan dunia yang menjurus pada keburukan. Wallahu a’lam.
Oleh : Hendra Sugiantoro
Sumber : https://www.republika.id/
Comments
Post a Comment