Suatu hari, Baginda Rasulullah
SAW didatangi oleh sekelompok fakir dari
kaum Muhajirin. Mereka mengadu dan mencurahkan kegundahan hati kepadanya.
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka shalat
sebagaimana kami shalat dan juga berpuasa seperti kami berpuasa. Namun mereka
mampu bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Lantas Rasulullah menghibur mereka
dengan pertanyaan yang indah. “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian
jalan untuk bersedekah ? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada
setiap takbir ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah dan pada setiap
tahlil ada sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran
adalah sedekah dan mendatangi istrimu adalah sedekah.” (HR. Muslim). Sedekah
merupakan ajaran Islam yang berdimensi sosial (keumatan). Dalam Alquran dan hadis bertebaran ajakan-ajakan untuk
bersedekah dan keutamaannya. Allah SWT
telah menjanjikan balasan bagi yang menginfakkan hartanya minimal 700
kali lipat (QS 2:
261). Maka dari itu, tidak heran apabila banyak orang kaya pada zaman
Nabi SAW yang bersedekah sebagian besar
atau hampir seluruh hartanya, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Lalu, bagaimana
dengan orang-orang yang kebutuhan hariannya pun belum tercukupi sebagaimana
mestinya ?
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz menulis
dalam kitabnya Syarhul Arba’in An-Nawawiyah, bahwa sedekah bermakna,
“menyampaikan kebaikan dan kemanfaatan bagi orang lain”. Hemat beliau, sedekah
bukanlah sebatas pemberian harta atau material kepada orang lain. Dalam Hadis
ini pun, Nabi SAW. menjelaskan kepada kita betapa luasnya makna sedekah. Salah satunya ialah dengan bertasbih
(subahanallah), tahmid (alhamdulillah), tahlil (laa-ilaha illa Allah) dan
dzikir lainnya. Dengan menyebutnya kita akan mendapatkan pahala dan ampunan
dosa meski sebanyak buih di lautan (HR Ahmad, Darimi, Maliki). Itulah salah
satu implementasi dari “Menyampaikan kebaikan dan manfaat”, kendati tertuju
pada diri sendiri. Allah -Jalla Wa ‘Alaa- pun bersedekah kepada hamba-Nya.
Ketika itu Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang mempersingkat shalat dalam
perjalanan, beliau pun menjawab “Itu (qashar shalat) sedekah Allah kepada
kalian, maka terimalah sedekah tersebut.” (HR Muslim). Imam Ibnu Daqiq Al-‘Iid
dalam karyanya Syarhul Arba’in Hadisan An-Nawawiyah menjelaskan, sesungguhnya
menghadirkan niat baik pada hal-hal yang dibolehkan, seperti makan, tidur,
berbisnis dan sebagainya akan membuahkan
ketaatan kepada Allah SWT. Maka perbuatan tadi pun bernilai sedekah kepada diri sendiri.
Beranjak dari pemaparan di atas, paling tidak ada dua intisari yang dapat kita serap : pertama, bentuk ibadah sosial yang variatif. Artinya, sedekah tidak hanya berwujud dengan uang (material), tapi juga seluruh amal (ucapan dan perbuatan) yang menunjukkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan. Begitu ditegaskan oleh Syeikh Hisyam Kamil dalam kitabnya, Tuhfatul Kiram. Kedua, ajaran bersedekah diperuntukkan bagi semua kalangan, bukan hanya orang berada akan tetapi juga yang papa. Sesungguhnya Rasulullah tidak memberatkan orang fakir untuk jadi orang kaya, tapi mengarahkan mereka kepada jalan yang sesuai dengan kapabilitas masing-masing. Bersedekah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, baik harta, tenaga, waktu, ilmu, pengalaman dan lainnya. Hadis di atas mengajarkan kita bahwa bagaimanapun kondisi kita, tetap harus bersedekah. Rasulullah SAW menyuruh orang-orang kaya dengan keluasan rezekinya mengulurkan tangan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Lalu, Beliau pun menyemangati kaum fakir dan miskin bersedekah dengan kalimah toyyibah dan amal kebaikan lainnya seperti menyingkirkan duri dari jalan. Maka Itulah sedekahnya orang-orang miskin. Wallahu’alam bishowab.
Oleh : Ihza Aulia Sururi Tanjung
Sumber : https://www.republika.co.id/
Comments
Post a Comment