Makhluk ciptaan Allah SWT seperti
Covid-19 yang tidak dapat dilihat mata, membuat seluruh manusia di permukaan
bumi berpikir dan bekerja keras mencari solusi mulai dari ikhtiar, doa, dan
tawakal guna memutus mata rantai
penyebarannya. Secara logika, rantai penyebaran Covid-19 bisa segera
berakhir jika masyarakat Indonesia punya kesadaran kolektif melakukan ikhtiar
yang disertai doa dan tawakal untuk menegakkan protokol kesehatan (prokes). Namun,
Covid-19 telah memasuki tahun kedua belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Presiden Joko Widodo membuat
kebijakan memberlakukan PPKM darurat (1/7) yang berlaku pada 3-20 Juli 2021 di
Jawa dan Bali. Ini ikhtiar menyelamatkan warga bangsa karena varian baru
Covid-19 menjadi persoalan serius di
banyak negara. Dalam situasi ini, Kepala Negara sudah mengambil langkah tepat agar kita dapat membendung penyebaran
Covid-19. Kebijakan ini tidak boleh gagal, karena itu semua pihak hendaknya
mempunyai kesadaran berikhtiar menegakkan prokes guna memutus mata rantai
penyebaran Covid- 19. Ini tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Sebab,
penyebaran Covid-19 berdampak pada semua sektor, baik aspek keyakinan maupun
cara berpikir dan bertindak dalam menghadapi pendemi Covid-19.
Hasil survei di lapangan mengidentifkasi
ada tiga kelompok dalam menyikapi Covid-19. Pertama, kelompok yang menyikapi
Covid-19 secara berlebihan dengan sikap paranoid, melahirkan ketakutan
yang berlebihan, justru dapat menurunkan
kekebalan. Kedua, sikap acuh tak acuh. Kelompok ini mengatakan, Covid-19 itu
tidak ada karena tidak kelihatan, bahkan melahirkan sikap saling menyalahkan.
Ketiga, sikap pertengahan, kelompok ini menyikapi Covid-19 secara proporsional
dan profesional. Dari tiga sikap tersebut, kita perlu melakukan muhasabah dengan
pertanyaan : sikap manakah yang terbaik ? Tentu jawabannya sikap pertengahan
karena posisi ini memberikan solusi tiga hal. Pertama, seberapa besar usaha
yang dilakukan sesuai prinsip agama untuk menjalankan perintah Allah dalam
mencegah bahaya Covid 19. Karena itu, dalam kondisi apa pun, kita wajib
berikhtiar sesuai kemampuan. Islam mengajarkan agar umat beragama berikhtiar
dalam bentuk sabar menghadapi ujian. Kedua, berdoa dengan keyakinan bahwa
keajaiban doa itu benar terjadi. Doa hanya diijabah Allah bagi orang yang
ikhtiar dan pasrah, tetap meminta kepada Allah walau belum terkabul. Ketiga,
bertawakal berdasarkan ikhtiar dan doa yang dimohonkan kepada-Nya setiap saat
dan di mana pun berada.
Berdasarkan hal tersebut, tolok ukur
keberhasilan muhasabah, di antaranya dalam bentuk kewajiban berikhtiar
menghadapi Covid-19 dengan melakukan tiga
kewajiban. Pertama, wajib iman kepada Allah. Kedua, wajib aman dengan
jaga jarak dan menghindari kerumunan. Ketiga, wajib imun dengan memakan makanan
yang halal dan baik. Islam mengajarkan agar umat beragama berikhtiar dalam
bentuk sabar menghadapi ujian. Karena itu, batas kesabaran hingga mampu
memberikan solusi atas masalah yang dihadapi umat dan bangsa. Sabar sejatinya
memberikan hikmah, di antaranya meningkatkan kepahaman dalam menghadapi
masalah, sehingga Allah memberikan hikmah QS 2:269. Untuk memperoleh kepahaman
(hikmah), dalam konteks ini MUI selama masa pandemi Covid-19 menerbitkan 13
fatwa. Pertama, Fatwa No 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam
Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Kedua, Fatwa No 17 Tahun 2020 tentang Pedoman
Kaifiat Shalat Bagi Tenaga Kesehatan Yang Memakai Alat Pelindung Diri (APD)
Saat Merawat dan Menangani Pasien Covid-19. Ketiga, Fatwa No 18 Tahun 2020
tentang Pedoman Pengurusan Jenazah Muslim Yang Terinfeksi Covid-19. Keempat,
Fatwa No 23 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan Harta Zakat, Infak, dan Sedekah
Untuk Penanggulangan Wabah Covid-19 dan Dampaknya. Namun yang terpenting, ada
yang harus kita perhatikan dalam menyikapi Covid-19, yakni jangan mendahului
takdir Allah, jangan merasa diri lebih hebat, serta jangan berperilaku sombong.
Sedangkan kelima, Fatwa No 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Shalat Idul Fitri Saat Pandemi Covid-19. Keenam, Fatwa No 31 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Shalat Jumat dan Jamaah untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19. Ketujuh, Fatwa No 36 Tahun 2020 tentang Shalat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban Saat Wabah Covid-19. Kedelapan, Fatwa No 2 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 Dari Sinovac Life Sciences Co Ltd China dan PT Bio Farma. Fatwa kesembilan, yaitu Fatwa No 13 Tahun 2021 tentang Hukum vaksinasi Covid-19 saat berpuasa. Sepuluh, Fatwa No 14 Tahun 2021 Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 produk Astrazeneca. Kesebelas, Fatwa No 23 Tahun 2021 tentang Hukum Tes Swab Untuk Deteksi Covid-19 Saat Berpuasa. Kedua belas, Fatwa No 24 Tahun 2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah di bulan Ramadhan dan Syawal 1442 H dan ketiga belas, Fatwa No 27 Tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produk Sinopharm CNBG China. Namun yang terpenting, ada yang harus kita perhatikan dalam menyikapi Covid-19, yakni jangan mendahului takdir Allah, jangan merasa diri lebih hebat, serta jangan berperilaku sombong. Tiga penyakit dalam diri manusia ini harus dibuang jauh-jauh, baik dalam suasana Covid-19 maupun setelah pandemi. Semoga, kita kompak menegakkan prokes sehingga terhindar dari Covid-19. Amin.
Oleh : Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI
Sumber : https://www.republika.id/
Comments
Post a Comment