Allah SWT berfirman, “Kami-lah yang
menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar mereka dapat
memanfaatkan sebagian yang lain.” (QS az-Zukhruf [43] : 32). Menurut Tafsir
Ibnu Katsir untuk ayat di atas, ada dua hal penting yang harus diperhatikan.
Pertama, Allah SWT membedakan karunia-Nya kepada hamba-Nya berupa harta,
rezeki, akal, dan pengetahuan serta pemberian lainnya. Kedua, agar sebagian
yang lain dapat memanfaatkan yang lain untuk melakukan pekerjaan. Dengan
menyadari dua hal tersebut, tidak perlu membandingkan diri kita dengan orang
lain dan menganggap memiliki kelebihan dari orang lain, sehingga kita hendaknya
bersikap rendah hati, merupakan perwujudan dari salah satu akhlak mulia seorang
Muslim, yaitu tawadhu. “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah
orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka
mengucapkan, ‘salam’.” (QS al-Furqan [25] : 63). “Dan, berendah hatilah engkau
terhadap orang yang beriman.” (QS al-Hijr [15] : 88). Dua ayat di atas
menerangkan tentang keutamaan dari salah satu akhlak mulia, yaitu tawadhu, yang
berupa sikap rendah hati. Orang yang tawadhu tidak akan menganggap diri lebih
dari orang lain. Untuk hal yang bersifat duniawi, seperti ilmu, kedudukan,
harta, atau wujud fisik dan juga untuk hal yang bersifat ruhiyah, seperti
ketakwaan atau kesalehan.
Dengan bersikap tawadhu, maka akan diperoleh dua keutamaan. Pertama, diangkat derajatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ”Dan tidaklah seorang yang bersikap tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim). Kedua, dihindarkan dari sikap membanggakan dan berbuat zalim terhadap orang lain. Baliau SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu hingga seseorang tidak membanggakan diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat zalim terhadap yang lain." (HR Muslim). Rasulullah SAW sebagai teladan bagi kita bersikap tawadhu dalam kehidupan sehari-hari. Seperti disampaikan oleh Aisyah RA ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan oleh beliau di rumah, “Beliau itu melakukan pekerjaan keluarganya, membantu istrinya dan jika telah masuk waktu shalat beliau segera keluar rumah untuk menuju tempat shalat.” (HR Bukhari). Rasulullah SAW juga melarang kepada umatnya agar tidak berlebihan menghormati beliau, “Janganlah kalian menyanjungku sebagaimana orang Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba Tuhan. Maka, sebut saja aku sebagai hamba-Nya dan utusan-Nya." (HR Bukhari). Ibnu Athailah as-Sakandari dalam Kitab Al Hikam mengatakan, barang siapa yang mengakui dirinya tawadhu atau terlintas di benaknya bahwa dia telah bersikap tawadhu, maka sebenarnya telah bersikap takabur. Dan, barang siapa yang melihat bahwa dirinya memiliki nilai dan derajat, maka dia belum bersikap tawadhu. Wallahu a’lam.
Oleh Sigit Indrijono
Sumber : https://www.republika.id
Comments
Post a Comment