Keluasan rezeki bukan karena
berlimpah harta, tetapi yang paling utama adalah kelapangan dada. Sepatutnya,
setiap Muslim selalu bermohon kepada Allah SWT agar dikaruniakan rezeki yang
luas (rizqan waasi’an) dan halal lagi baik (halalan thayyiban). Doa tersebut
menjadi isyarat bahwa rezeki tidak hanya diusahakan (jalan darat), tetapi juga
dimohonkan (jalan langit). Nabi SAW mengajarkan doa, “Ya Allah, hamba mohon
kepada-Mu ilmu yang manfaat, rezeki yang halal, dan amal yang diterima.” (HR
Ibnu Majah). Kita sering keliru memaknai hakikat rezeki yang dipahami hanya
berwujud materi (harta benda). Padahal, harta (uang) hanya sebagian dari rezeki
yang sedemikian luas. Memang, dari sekitar 124 kali kata rezeki dalam Alquran,
sebagian besarnya berkaitan dengan harta kekayaan. Dalam kajian Tafsir
Shofwatut Tafasir karya Syekh ash-Shobuni, Prof KH Didin Hafidhuddin,
menjelaskan bahwa rezeki bukan hanya materi, akan tetapi segala sarana dan
prasarana yang bermanfaat untuk menjalani kehidupan. Istri atau suami dan anak
yang saleh, ilmu dan keahlian yang mumpuni, pekerjaan dan gaji yang mencukupi,
tetangga dan kawan yang menyemangati adalah bagian dari rezeki. Allah SWT yang
melapangkan dan menyempitkan rezeki sesuai kehendak-Nya (QS ar-Ra’du [13]: 26).
Boleh jadi, ketika seseorang dilapangkan rezekinya justru menimbulkan
keburukan. Sebaliknya, jika disempitkan, akan mengantarnya dekat kepada Tuhan
(QS asy-Syura [42]: 27). Keluasan rezeki bukan hanya raihan harta, tetapi
sangat ditentukan oleh kelapangan hati (ruhani). Setiap orang berbeda dalam
menyikapi rezeki yang diraihnya.
Kiai Didin Hafidhuddin membaginya
menjadi empat macam yakni; Pertama, orang yang tak kaya harta dan tak kaya
hati. Allah tidak pernah memiskinkan manusia, tapi justru menganugerahkan
kekayaan dan kecukupan (QS an-Najm [53]: 48). Namun, ada orang yang malas dan
tidak mau bekerja keras, sehingga ditimpa kehidupan yang sulit (QS Thaha [20]:
124-125). Kedua, orang yang tak kaya harta tapi kaya hati. Sebagian manusia ada
yang sudah bekerja keras mencari rezeki, tetapi belum mendapatkan kecukupan.
Walaupun mereka miskin harta tapi kaya hati (qana’ah), sehingga hidupnya tenang
dan penuh arti (QS al-Baqarah [2]: 273). Ketiga, orang yang kaya harta tapi tak
kaya hati. Mereka telah meraih kekayaan (kekuasaan), tetapi tidak mau berbagi
(bakhil) dan selalu merasa kurang (rakus). Mereka kaya harta tapi miskin rasa,
sehingga tega mengambil hak orang-orang miskin yang tak berdaya (QS an-Nisa:
37). Keempat, orang yang kaya harta dan kaya hati. Mereka orang yang berada
bahkan berkuasa, namun tetap empati dan rendah hati (tawadhu). Bagi mereka
kemewahan dunia hanya diletakkan di tangan dan tidak masuk ke hati. Seperti
Nabi Sulaiman AS yang kaya raya dan adikuasa, tetapi ia tidak teperdaya oleh
dunia (QS an-Naml [27]: 19). Akhirnya, keluasan rezeki bukan karena berlimpah
harta, tetapi yang paling utama adalah kelapangan dada (bersyukur). Sebab,
sebanyak apapun perolehan harta jika tidak diwadahi hati yang lapang (kufur),
hidupnya akan terasa sempit. Allahu a’lam bissawab.
Oleh : Hasan Basri Tanjung
Sumber : https://www.republika.id/
Comments
Post a Comment