Kegiatan pembelajaran yang dilakukan
secara daring akibat dari Pandemi Covid-19 sudah tidak diragukan lagi menjadi
tantangan bagi dunia pendidikan. Pasalnya, motivasi para peserta ajar ikut
tergerus dengan metode pembelajaran jarak jauh. Hal ini diperburuk dengan
sulitnya memantau para peserta ajar melalui jendela virtual oleh para guru atau
dosen yang sudah terbiasa dengan kelas tatap muka. Begitu banyak permasalahan
yang kita hadapi dengan pembelajaran secara daring, mulai dari para pengajar
yang kurang akrab dengan teknologi, kecenderungan peserta ajar untuk mencari
celah agar bisa “belajar santai” dari rumah. Kemudian, kendala jaringan yang
beragam untuk setiap peserta ajar, hingga sulitnya menentukan kompetensi
peserta ajar yang sebagian besar topik pembelajarannya bersifat praktikum.
Namun, jauh sebelum pandemi covid-19 muncul dengan antek-antek permasalahanya,
dunia pendidikan sudah dihadapkan dengan isu kurangnya motivasi para peserta
ajar dalam menempuh pendidikan. Banyak dari generasi muda yang memiliki pola
pikir bahwa privilege yang dimiliki oleh seseorang menentukan kesuksesan mereka
selama menempuh pendidikan. Sebagai contoh, banyak mahasiswa di jurusan
Teknologi Informasi yang tidak memiliki laptop atau komputer canggih, merasa
akan kalah saing dengan mahasiswa yang difasilitasi dengan laptop "spek
dewa" dan privilege lainnya dari orangtua mereka. Pemikiran demikian bisa
dimengerti karena pada dasarnya berkuliah di jurusan yang menuntut praktikum
tentunya memerlukan dukungan alat yang memadai. Akan tetapi, terlepas dari
fasilitas yang dimiliki oleh seorang peserta ajar, kesuksesan mereka selama
menempuh pendidikan akan kembali ditentukan oleh semangat dan motivasi dari
dalam diri masing-masing.
Sering ditemukan mahasiswa IT yang
mengeluhkan keterbatasan mereka seperti tidak memiliki laptop canggih untuk
membuat sebuah program aplikasi. Padahal, jika mereka mau sedikit berusaha dan
memunculkan kreatifitas, begitu banyak opsi yang bisa mereka pilih untuk
menunjang pembelajaran yang dilakukan seperti menggunakan fasilitas komputer
yang telah disediakan di institusi tempat mereka belajar atau join penggunaan
perangkat dengan teman terdekat. Lalu, apakah mereka dengan privilege lebih
seperti diberikan fasilitas lengkap oleh orangtua mereka sudah pasti lebih
sukses dibandingkan mereka yang tidak? Belum tentu! Tak jarang juga ditemukan
peserta ajar yang sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang
pembelajaran, justru tidak memanfaatkan privilege yang mereka miliki dengan
maksimal. Kasus lain, tak sedikit mahasiswa dengan perangkat yang memiliki
spesifikasi tinggi, hanya menggunakan perangkat yang mereka miliki untuk
hal-hal yang kurang memberikan manfaat untuk pembelajaran seperti menonton
drakor, bermain game, dan lain sebagainya. Menggunakan perangkat yang diberikan
untuk hobi atau kesenangan bukanlah hal yang salah. Namun, jika menggunakan
perangkat tersebut semata-mata hanya untuk kesenangan dan menomor sekiankan
pembelajaran, itulah yang salah dan merupakan tindakan yang sangat tidak bijak.
Pada akhirnya, privilege yang dimiliki seseorang hanyalah instrumen untuk
mendukung proses belajar mereka. Kesuksesan seorang peserta ajar akan
ditentukan oleh motivasi yang ada di dalam diri mereka dan semangat pantang
menyerah yang selalu mereka kobarkan untuk mencapai apa yang mereka
cita-citakan. Jika kita membuka mata lebih lebar, banyak kasus orang sukses
yang berawal dari ketidakpunyaan. Sebaliknya, banyak juga kasus kegagalan dari
seseorang yang memiliki privilege lebih. Mengkambinghitamkan privilege yang
tidak dimiliki pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah alasan bagi mereka yang
memiliki jiwa yang tidak mau maju dan berusaha. Mari, kita bangkitkan semangat
di dalam diri untuk meraih mimpi yang sudah berada di depan mata. Kesuksesan
seseorang ditentukan oleh usaha yang ia tunjukkan, bukan fasilitas apa yang ia
miliki.
Artikel ini telah tayang di
Kompas.com dengan judul "Laptop Canggih Menjamin Mahasiswa Sukses?"
Penulis : Tirta Akdi Toma Mesoya Hulu
Editor : Sandro Gatra
Comments
Post a Comment