Mudah meminta maaf dan mudah memberi
maaf.
Dalam suatu kesempatan, para sahabat
Rasulullah berkumpul membicarakan strategi perang, Abu Dzar mengusulkan,
“Menurut saya, sebaiknya pasukan Islam melakukan ini dan itu (seraya
mengemukakan usulannya)”. Bilal menyanggah usulan itu dengan mengatakan, “Usul
Anda kurang strategis.” Abu Dzar tidak terima pendapatnya disanggah Bilal
karena bagaimanapun menurutnya Bilal adalah mantan budak sehingga ia marah dan
berkata, “Kamu berani menyanggah usulku wahai anak budak hitam ?” Bilal
tersinggung mendengar perkataan Abu Dzar. Ia berkata kepada Abu Dzar, “Sungguh,
aku akan melaporkanmu pada Rasulullah.” Bilal menemui Rasulullah dan mengadu,
“Wahai Rasulullah, tidakkah Anda mendengar apa yang dikatakan Abu Dzar kepada
saya ?” Rasulullah bertanya, “Apa yang dikatakan Abu Dzar kepadamu?” “Dia
menyebut saya anak perempuan hitam !” kata Bilal. Mendengar hal itu, Rasulullah
marah dan memanggil Abu Dzar untuk datang ke masjid. Sampai di masjid, Abu Dzar
mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasulullah, kemudian beliau bertanya, “Wahai
Abu Dzar! Benarkah kamu menghina ibu Bilal ? Sungguh, dalam dirimu masih ada
perilaku jahiliyah.” Abu Dzar menyesal, menangis, dan meminta maaf pada
Rasulullah SAW dan memohon pada Rasulullah agar diampuni oleh Allah SWT. Abu
Dzar keluar dari masjid dalam keadaan menangis dan menemui Bilal. Di dekat
Bilal, Abu Dzar meletakkan pipinya di atas tanah seraya berkata, “Sungguh, aku
tidak akan mengangkat kedua pipiku sebelum engkau menginjaknya agar kau
memaafkanku.” Bilal mendekati Abu Dzar, mengangkat kepalanya dari tanah dan
memeluknya seraya berkata, “Anda lebih mulia dari saya.” Keduanya berpelukan,
saling memaafkan diiringi deraian air mata.
Kisah ini setidaknya mengajarkan tiga
hal pada kita. Pertama, berbuat dosa atau kesalahan bersifat manusiawi (tidak
maksum kecuali Rasulullah), siapa saja bisa melakukannya, bahkan sekelas
sahabat senior seperti Abu Dzar al-Ghifari. Hal ini seakan menegaskan kebenaran
hadis Rasulullah SAW bahwa, “Setiap anak Adam (manusia) pernah bersalah dan
sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.” Kedua, ketika Rasulullah
menyebut bahwa dalam diri Abu Dzar masih ada perilaku jahiliyah tidak
serta-merta menjadikan Abu Dzar sebagai orang yang murtad (keluar dari Islam).
Karena yang dikomentari oleh Rasulullah perbuatan atau sikap Abu Dzar, bukan
tentang akidah atau keyakinannya. Ketiga, mudah meminta maaf dan mudah memberi
maaf. Abu Dzar suri teladan dalam meminta maaf dan Bilal suri teladan dalam
memberi maaf. Bahkan, cara meminta maaf Abu Dzar tergolong cara yang sangat
hebat, meletakkan kepala di tanah dan menyuruh Bilal untuk menginjaknya, hanya
demi memohon keikhlasan hati untuk memaafkannya. Abu Dzar berani melakukan hal
itu karena ia sadar bahwa seberat apa pun cara yang ia lakukan untuk meminta
maaf di dunia, tidak seberapa dibanding harus meminta maaf di akhirat, saat
semua pintu tobat dan maaf sudah ditutup. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh : Abdul Syukkur
Sumber : https://www.republika.id/
Comments
Post a Comment