Mengenai kesungguhan hati, Allah menyatakan, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS al-Ankabut/29: 69). Syaikah Nawawi dalam kitab Tafsir Munir menulis, yang dimaksud jihad dalam ayat ini adalah berupaya keras dalam taat, menghasilkan pahala, termasuk berkesungguhan hati memikirkan dalil-dalil agama. Bagi yang berkesungguhan hati mencari ilmu Allah, maka Allah akan menganugerahkan ilmu-Nya. Seperti kata mutiara yang dikutip Syaikh al-Zarnuji dalam kitab Taklim Muta'allim, "Seukuran kepayahanmu, seperti itu pula tercapai cita-citamu." Begitu juga, "Siapa saja yang berkesungguhan hati mencari sesuatu, dapat dipastikan akan ketemu. Seperti halnya orang yang mengetuk pintu terus-menerus, dipastikan akan dapat masuk." Dalam sejarah diketahui selamatnya Nabi Nuh dari terjangan banjir karena kesungguhan hati beliau membuat bahtera raksasa. Begitu pula selamatnya Nabi Ibrahim saat dibakar di atas api oleh Namruz, karena kesungguhan hati beliau untuk terus taat kepada Allah sehingga api yang panas malah jadi dingin. Pun kesungguhan hati Nabi Yunus saat berada di perut ikan yang terus memuji Allah hingga ikan itu memuntahkannya ke daratan. Semua memerlukan kesungguhan hati. Nabi Musa juga selamat dari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya yang kejam karena beliau berkesungguhan hati bahwa pasti Allah berikan solusi. Nyatanya Laut Merah terbelah saat dipukul dengan tongkat.
Bagi penuntut ilmu, menurut Syaikh
al-Zarnuji, untuk bisa sukses yang gilang-gemilang harus ada kesungguhan hati
tiga pihak, yakni pihak penuntut ilmu itu sendiri, guru, dan pihak orangtua.
Ketiga pihak ini harus memberi kesungguhan hati secara berimbang. Tugas murid
belajar, guru mengajar, dan orangtua menyokong biaya sama-sama penting. Kesungguhan
hati untuk belajar akan diberi hadiah berupa surga. Nabi menginformasikan,
"Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Muslim). Kesungguhan hati saat
belajar ini terutama saat menghadapi lapar dan haus, lelah dan kantuk, bosan
dan gelisah, dan kesulitan untuk memahami pelajaran, termasuk godaan dari dunia
luar yang bebas dan menyenangkan. Kesungguhan hati untuk belajar terasa kian
dibutuhkan di tengah bertumbuhnya jaringan media sosial. Pada satu sisi
jaringan media sosial mempermudah belajar, tapi pada sisi lain jaringan media
sosial membuat pelajar jadi berpikir instan. Penelusuran buku babon (naskah
asli) mulai ditinggalkan karena kalah mudah dengan informasi di internet. Padahal buku
konvensional adalah data verbatim (data teks atau tulisan) yang tak kalah
penting. Terakhir, Imam Syafi'i pernah mengajari dalam syairnya, seperti
dikutip Syaikh al-Zarnuji, bahwa dengan kesungguhan hati, urusan yang jauh jadi
dekat. Begitu juga pintu yang terkunci, dengan kesungguhan hati lama-lama akan
terbuka. Sebab manusia diberi akal. Jadi, kesungguhan hati tak lain adalah
memaksimalkan kemampuan akal.
Oleh : Syamsul Yakin
Sumber : https://www.republika.co.id/
🤓
ReplyDelete