“Wal ‘ashr. Inna al-Insanalafikhusr.
Illa al-Ladziina Aamanuwa’Amilu as-Shalihat, Watawa as-Shaub al-Haqq, Watawa
as-Shaub ash-Shabr.” (Qs. Al-‘Ashr/103: 1-3) Siapa yang tidak hafal dengan
surah di atas ? Surah pendek yang kerap kali dibaca oleh anak-anak selepas
mengaji. Surah ini pula yang gemar dilantunkan oleh para sahabat Nabi Saw.
Diriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin Hushain bahwa sahabat-sahabat Rasulullah
tidak berpisah kecuali setelah mereka membacakan surah al-‘Ashr untuk sahabat
lainnya. Dinamai al-‘Ashr yang terdiri dari tiga huruf ‘ain, shad, dan ra
(‘ashara) bermakna menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian
terdalam daripadanya tampak keluar (memeras), demikian menurut Muhammad Quraish
Shihab dalam tafsir al-Mishbah. Makna memeras sebagai gambaran aktivitas
manusia yang biasanya sejak pagi telah memeras fisik dan tenaganya untuk
berikhtiar mencari penghidupan semoga kelak membuahkan hasil dari segala
usahanya tersebut. Para ulama mayoritas mengartikan al’Ashr dengan ‘demi waktu/
masa’ yang berarti waktu secara umum. Allah bersumpah dalam ayat di atas
tentang pentingnya memanfaatkan waktu untuk hal-hal positif agar manusia jauh
dari kerugian (khusr). Khusr memiliki banyak arti antara lain rugi, sesat,
celaka, lemah, tipuan yang kesemuanya mengarah pada makna-makna negatif atau
yang tidak disenangi oleh siapapun. Kata khusrin pada surah al-‘Ashr di atas
berbentuk nakirah (indefinite)dan menggunakan tanwin. Artinya, bentuk
indefinite dan tanwin tersebut memberikan arti keragaman dan kebesaranya itu
kerugian, kesesatan, kecelakaan yang besar dan beranekaragam. Kata khusrin
digandeng dengan lam dan fa (lafii) yang bermakna wadah atau tempat. Maka,
dengan kata tersebut tergambar bahwa seluruh totalitas manusia berada dalam
satu wadah kerugian. Tak pandang siapapun mereka, apapun warna kulit, suku,
bangsa bahasa dan agamanya, al-Insan (manusia) berpotensi merugi.
Pertanyaannya, siapakah mereka yang
merugi ? Kitab al-Maraqi al-‘Ubudiyah karya Imam Nawawi al-Bantani yang
disyarah dari kitab Bidayah al-Hidayah karya Syaikh Hujjatul Islam Imam
al-Ghazali mendeskripsikan secara eksplisit siapa dari mereka yang merugi. Imam
al-Ghazali memulai sapaannya dalam kitab ini dengan wahai orang-orang harishun/mujtahid
(yaitu orang-orang yang bersemangat mencari ilmu) untuk memerhatikan ‘niat’
dalambelajar/ menuntut ilmu agar tidak berakhir dalam kerugian. Kiranya, ada
empat golongan menurut Imam al-Ghazali yang termasuk orang merugi. Pertama,
munafasah yakni orang yang menuntut ilmu hanya untuk berlomba-lomba mencari
kedudukan di hadapan makhluk. Menempuh pendidikan setinggi-tingginya agar kelak
ia bisa mencapai kedudukan tertentu. Sungguh, merekalah orang merugi, demikian
Imam al-Ghazali. Kedua, mubaahaah yakni orang yang mencari ilmu dan bersekolah
agar kelak nantinya bisa menyombongkan diri atas ilmu yang dimiliki. Ketiga,
istimalah yakni belajar mencari ilmu dan berhasil mengantongi sederet gelar
akademik hanya sebatas agar terjaminnya masa depan. Terakhir, golongan thalab
al-kasbi yakni mereka yang menuntut ilmu hanya untuk mencari penghidupan. Sungguh,
lanjut ‘allamah Imam al-Ghazali, keempat golongan yang disebutkan di atas,
belajar menuntut ilmu untuk tujuan-tujuan tertentu, bukan hanya menghancurkan
agama namun juga menghancurkan diri sendiri. Merekalah orang-orang yang
khaasiratun (merugi). Ibarat perniagaan, mereka tak mendapatkan apapun dari upayanya
berletih-letih dan bersusah payah mencari ilmu, belajar di berbagai penjuru
negeri jika diniatkan bukan karena Allah.
Ungkapan Imam al-Ghazali sejalan dengan
pesan-pesan Qs. Al-‘Ashr/103 yang telah diurai awal tulisan ini. Jika Imam
al-Ghazali melihat kerugian menimpa mereka/orang-orang yang menuntut ilmu
dengan berfokus pada tujuan & hiasan duniawi, maka dalam Qs. Al’Ashr
terjawab bahwa seluruh manusia merugi kecuali empat golongan yakni pertama,
aamanuu yakni orang-orang yang beriman dan mantap keimananya. Mereka yang
meyakini bahwa kehidupan dunia hanya sementara, dunia ialah media untuk
berlomba-lomba dalam kebaikan dan meniatkan semuanya karena Allah. Kedua,
al-‘amilu ash-shalihaat yakni orang-orang yang senantiasa istiqamah berbuat
baik, mengajak orang lain untuk ikut beramal baik dan juga belajar untuk terus
memperbaiki diri. Iman dan amalshalih saja ternyata tidak cukup. Ada dua hal
penting lagi agar kita tidak merugi. Ketiga, golongan orang yang tidak akan
merugi ialah mereka yang watawashau, saling berwasiat dalam kebenaran. Saling
mengingatkan dalam kebenaran ialah tanggungjawab yang idealnya dilakukan umat
muslim sebagai makhluk sosial. Sebab seringkali setinggi apapun jabatan, gelar,
wawasan seseorang, kerap kali berbuat khilaf. Karenanya Allah menggunakan kata
watawashau (washauakar kata dari washiya yang artinya berwasiat) dan tambahan
hurufta’ di awal yang bermakna kesalingan, menunjukkan kepedulian.
Sesekali seseorang khilaf berbuat
kesalahan kita mau mengingatkan secara baik-baik. Pun, ketika kita yang
melakukan kesalahan, maka bukalah hati agar mudah menerima nasihat. Keempat,
orang-orang yang watawasha, saling berwasiat dalam kesabaran. Poin terakhir
juga menjadi hal penting yang dilakukan individu beriman agar suatu waktu kita
melihat muslim lain tengah hilang kesabaran, kita berkenan mengingatkan.
Sebaliknya, barangkali suatu waktu kesabaran kita tengah diuji, kita juga siap
untuk dinasihati. Mutiara pesan Qs. Al-‘Ahsr tentang manusia yang merugi dan
nasihat Imam al-Ghazali bagi para penuntut ilmu semoga menjadi cerminan hati
untuk kembali berefleksi, bermuhasabah diri. Mari kembali menata niat untuk
memulai semua aktivitas dan mengakhirinya hanya karena ridha Allah. Tidak ada
yang jauh lebih penting dan berharga selain ridhanya Allah. Allah-lah yang
paling mengetahui apa yang terbaik untuk tiap-tiap hamba-Nya. Allah pasti jua
yang akan mencukupi seluruh kebutuhan makhluk-Nya. Demikian, Allahu ta’alaa’lam.
Oleh : Ina Salmah Febriani
Sumber : https://khazanah.republika.co.id/
👀
ReplyDelete