Peran
Perguruan Tinggi Dalam Pemanfaatan Media Sosial Oleh Masyarakat
Di Tahun Politik
Caca E. Supriana, S.Si.,
MT.
Teknik Informatika
Universitas Pasundan
Pendahuluan
Media Sosial
didefinisikan sebagai situs web yang memungkinkan pembuatan profil dan
visibilitas hubungan antar pengguna (Boyd & Ellison, 2008), aplikasi
berbasis web yang menyediakan fungsionalitas untuk berbagi, hubungan, grup,
percakapan dan profil (Kietzmann dkk., 2011). Peran media sosial cukup
signifikan dalam dunia politik khususnya menjelang Pemilu tahun 2024, partai
politik dan politisi akan menggunakan media sosial sebagai cara untuk
berkomunikasi dan berkampanye dengan masyarakat luas, dimana menurut laporan We
Are Social (organisasi internasional yang mengkhususkan diri dalam media
sosial) jumlah pengguna media sosial di Indonesia per Januari tahun 2023 adalah
167 juta orang atau lebih dari 60% populasi penduduk. Tulisan ini akan membahas
peran Perguruan Tinggi dalam tahun politik, khususnya pemanfaatan media sosial
oleh berbagai lapisan masyarakat dalam lingkup Tri Dharma Perguruan Tinggi
untuk meningkatkan manfaat media sosial sebagai teknologi untuk menjaga
persatuan bangsa.
Pembahasan
Media sosial telah
disebut sebagai “situs media sosial” (Diga & Kelleher, 2009), atau
serangkaian teknologi informasi yang memfasilitasi interaksi dan jaringan
(Kapoor et al., 2017; Oestreicher-Singer & Zalmanson, 2013), dan teknologi
Web2.0 memainkan peran penting dalam pengembangan dan adopsi media sosial.
Media sosial, seperti Facebook, X (dulu Twitter), Tik Tok dan LinkedIn,
menyediakan konektivitas jaringan yang luas bagi masyarakat (Asur &
Huberman, 2010). Web 2.0 berakar pada ideologi open source, dimana
pengguna berkolaborasi secara bebas menggunakan kakas gratis dan berbagi
pekerjaan dan informasi mereka satu sama lain. Terdapat tujuh hal yang harus
diperhatikan dalam pemanfaatan media sosial oleh masyarakat yaitu (1) identitas
yang mengacu pada representasi pengguna di dunia maya, baik yang sesuai dengan
kenyataan atau tidak, misalnya menggunakan nama alias. (2) Percakapan
memungkinkan pengguna untuk berinteraksi satu sama lain secara sinkron dalam
waktu nyata atau asinkron dengan selang waktu. (3) Berbagi konten mengacu pada
aktivitas di mana konten (teks, gambar, foto, video, musik dan lain-lain) yang
ada disebarkan. (4) Kehadiran memungkinkan pengguna mengetahui keberadaan
anggota komunitas lainnya (on/off-line dan lokasi aktual/virtual). (5) Hubungan
memungkinkan anggota komunitas untuk memvisualisasikan jaringan mereka dalam
berbagai cara mulai dari “like” dan “follower” hingga
representasi virtual dari hubungan di kehidupan nyata. (6) Grup mengacu pada
grup keanggotaan tempat pengguna dapat mengartikulasikan afiliasi mereka
dengan, atau minat pada, subjek tertentu, kesamaan pandangan politik dan grup
yang digunakan oleh pengguna untuk mengelola hubungan mereka. (7) Reputasi
memungkinkan pengguna untuk memenuhi syarat konten yang disediakan oleh
pengguna lain dan membangun tingkat kepercayaan di antara anggota komunitas, misalnya
melalui sistem penilaian atau peringkat (status “influencer”), atau tetap
implisit (jumlah pengikut).
Masyarakat akan
menggunakan aplikasi media sosial yang berbeda, saluran media sosial untuk
tujuan yang berbeda, sehingga menghasilkan ekologi media sosial. Ekologi ini
berubah cukup cepat ketika berbagai kelompok menggunakan saluran media sosial
yang berbeda dan saluran itu sendiri pun berkembang. Gambar 1 mengilustrasikan
ekologi media sosial.
Gambar 1. Ekologi Media Sosial [Benyon, 2019]
Peran platform
media sosial seperti X (dulu Twitter), Facebook, Tik Tok dan YouTube dalam
membentuk wacana politik dan, pada gilirannya melakukan kampanye pemilu
(Stietglitz & Dang-Xuan, 2012). Organisasi politik tidak boleh mengabaikan
pentingnya media sosial dalam komunikasi politik, terutama pada saat kampanye
pemilu. Ada juga argumen bahwa politisi mungkin menggunakan media sosial untuk
mendapatkan dukungan masyarakat selama kampanye dan mempelajari opini publik
mengenai undang-undang dan sudut pandang politik. Berdasarkan hasil survei
online, mayoritas masyarakat mengikuti politisi dan kandidat politik. Mayoritas
anak muda (67%) mengikuti politik di berbagai media sosial seperti Facebook,
Instagram dan lain-lain. Mayoritas masyarakat (70%) mendapatkan informasi
politik melalui media sosial. Iklan politik di media sosial membantu masyarakat
mengikuti orang yang tepat untuk memilih, hai ini sangat hemat biaya dalam
berkampanye dan menghubungkan banyak orang (Nikhil, 2018).
Platform media
sosial saat ini dikatakan memungkinkan terjadinya ‘supercharging’ atau
percepatan penyebaran berita palsu atau hoax (Bounegru et al., 2018).
Dua istilah telah digunakan untuk menggambarkan web dan kemudian media sosial
sebagai media akselerasi : clickbait dan propaganda komputasi. Clickbait
berkonotasi dengan konten yang sangat menarik dan sensasional dalam
penyajiannya, yang memicu rasa ingin tahu. Propaganda komputasional, istilah
kedua, mengacu pada ‘kumpulan media sosial, agen otonom, dan algoritma yang
bertugas memanipulasi opini’ (Neudert, 2017). Luasnya definisi ini dimaksudkan
untuk menangkap bot yang memperkuat konten, platform periklanan yang
memungkinkan penargetan mikro dan personalisasi pesan yang memiliki pengaruh,
dan kumpulan klik yang meningkatkan jumlah pengikut dan skor keterlibatan,
sehingga memiliki kekuatan simbolis yang lebih besar melalui dukungan palsu
(Rogers, 2018).
Perguruan tinggi harus terdepan dalam
mengembangkan intelektualitas bangsa, sikap partisan atau keinginan berpolitik
praktis harus dijauhkkan dari sivitas akademika. Pemerintah juga diharapkan
tidak menerapkan kebijakan pendidikan tinggi yang berdasarkan kepentingan
politik sesaat. Beberapa kampus mungkin mengambil sikap untuk menjaga
netralitas lingkungan belajar mereka, kampus sebagai lembaga akademik harus
menjaga kebenaran ilmiah, tetapi tidak terdapat larangan untuk mahasiswa yang
ingin terjun ke dunia politik. Menjaga kampus dari politik praktis merupakan
tugas bersama agar marwah kampus sebagai lembaga ilmiah pencari kebenaran tidak
terganggu. Berikut adalah analisis peran perguruan tinggi dalam pemanfaatan
media sosial, khususnya di tahun politik dalam menghadapi pemilihan umum
menggunakan ekologi media sosial.
(1) Pendidikan
dan Pengajaran, merupakan suatu usaha dalam pembentukan pribadi agar sesuai
dengan pedoman yang berlaku. Selain itu, pendidikan merupakan usaha sadar yang sudah
direncanakan untuk dapat mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar mahasiswa dapat mengembangkan potensi dirinya. Audience : perguruan
tinggi melalui seluruh civitas akademia dapat menjadi audience awal dalam
pembelajaran politik praktis yang elegan, bertanggung jawab, menghargai hak
pilih dan pola pikir berdemokrasi yang sehat.
Pembelajaran dapat secara khusus dilaksanakan dalam acara tertentu
(seminar, workshop dan lain-lain) atau disisipkan dalam kuliah yang sesuai
dengan tujuan menjadikan civitas akademia sebagai ‘agent of change’
dalam berdemokrasi yang baik khususnya untuk penggunaan media sosial, misalnya
melalui kuliah Literasi Digital. Content : membuat dan menyediakan
konten media sosial, misalnya video yang singkat, menarik, mudah dipahami dan
tidak memihak, mudah disebarkan (viral). Konten dibuat oleh dosen atau
mahasiswa sebagai bagian dari pembelajaran politik, misalnya dengan materi
clickbait atau propaganda politik yang menyesatkan dan hoax. Channel : pembelajaran
terhadap berbagai channel sosial media untuk ketepatan penyampaian konten yang
disesuaikan dengan bagian dari masyarakat yang menjadi tujuan konten politik.
Misalnya konten pembelajaran politik untuk anak muda (millenial) dapat
menggunakan Instagram atau Tik Tok dalam bentuk foto atau video pendek.
(2) Penelitian
dan Pengembangan, untuk mencapai tujuan perguruan tinggi yaitu memiliki sumber
daya manusia yang kreatif, cerdas, dan kritis. Salah satu bentuk kontribusi
agar bangsa terus maju dan berkembang yakni dengan menerapkan penelitian dan
pengembangan. Audience : civitas akademik khususnya dosen dan mahasiswa
dapat meneliti pemanfaatan media sosial pada pemerintah, partai politik,
masyarakat dan pihak lain dalam politik dan pemilihan umum. Content :
civitas akademik khususnya dosen dan mahasiswa dapat meneliti konten yang
tersebar dimasyarakat, menganalisis, mengidentifikasi, mengukur dan membuat
rekomendasi dalam menyikapi konten yang baik, mendidik, mendukung demokrasi dan
juga konten hoax yang menghasut dan merusak tatanan demokrasi. Channel :
civitas akademik khususnya dosen dan mahasiswa dapat meneliti channel yang
paling disukai lapisan masyarakat tertentu, identifikasi konten pada channel
tersebut untuk melihat manfaatnya dalam membangun demokrasi di Indonesia.
(3) Pengabdian
Kepada Masyarakat, merupakan pelaksanaan pengamalan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni budaya langsung pada masyarakat secara kelembagaan melalui metodologi
ilmiah dengan tanggung jawab yang luhur dalam usaha mengembangkan kemampuan
masyarakat. Audience : perguruan tinggi melalui civitas akademik dapat
bekerja sama dengan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pihak lain untuk
menyebarkan informasi dan melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk membentuk ‘mindset’
masyarakat yang lebih dewasa dan berbudaya dalam berdemokrasi. Content :
perguruan tinggi melalui civitas akademik dapat bekerja sama dengan pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat dan pihak lain untuk menyiapkan konten politik
praktis. Perguruan tinggi juga
melibatkan masyarakat untuk membuat konten sesuai dengan dukungan politik
mereka yang tetap menjunjung tinggi persatuan bangsa. Masyarakat akan menjadi
pembuat konten, tidak hanya pasif dalam menerima informasi tetapi menjadi lebih
kreatif dalam pemanfaatan media sosial dan lebih kritis, misalnya terhadap perilaku
politik yang tidak sesuai dengan Pancasila. Channel : perguruan tinggi
dapat bekerja sama dan memanfaatkan berbagai channel umtuk meyebarkan informasi
pengabdian pada masyarakat yang bertujuan untuk membentuk perilaku politik yang
sehat.
Penutup
Pemanfaatan media sosial oleh
masyarakat di tahun politik dapat berdampak ganda, disatu sisi akan
menguntungkan demokrasi di Indonesia, sementara disisi lain dapat merusak
tatanan masyarakat itu sendiri. Dengan memanfaatkan media sosial melalui
komponen ekologi media sosial, perguruan tinggi melalui Tri Dharma Perguruan
Tinggi dapat mejadi pihak yang meningkatkan kualitas bangsa dalam berdemokrasi.
Tahun politik melalui pemilihan umum diharapkan dengan keterlibatan perguruan
tinggi secara aktif akan menjadi ajang pembelajaran, penelitian dan pengabdian
masyarakat, terlepas dari berbagai pilihan politik masyarakat akan menjadikan
demokrasi yang lebih baik di Indonesia.
Daftar
Pustaka
[1] David
Benyon, 2019, Designing User Experience : A Guide to HCI, UX and Interaction
Design, Pearson
[2] Maxim
Wolf, 2018, Social Media ? What Social Media ?, UK Academy for
Information Systems Conference Proceedings 3
[3] Muhammad
Budiana, 2022, Use Of Social Media In Political Communication, Jurnal
Info Sains : Informatikan dan Sains, Volume 12, No 01
[4] Nikhil
Lakkysetty, Phani Deep, Balamurugan J, 2018, Social Media And Its Impacts On
Politics, International Journal of Advance Research, Ideas and Innovations
in Technology, Volume 4, Issue 2
[5] Richard
Rogers, Sabine Niederer, 2020, The Politics Of Social Media Manipulation,
hal. 19-70, Amsterdam University Press B.V., Amsterdam
[6] Shilpi
Rani Saha, Arun Kanti Guha, 2021, Impact of Social Media Use of University
Students, International Journal of Statistics and Applications, hal. 36-43
Tulisan
ini sudah diterbitkan di Al Mizan Universitas Pasundan, edisi 165 November 2023
Comments
Post a Comment