Islam selalu mendorong setiap orang
untuk menuntut ilmu, sebab Islam adalah satu kegiatan yang
mampu mendatangkan pahala. Mari memahami makna menuntut ilmu dan keutamannya
agar dalam menuntut ilmu kita tidak hanya menjadi cerdas dan pandai, tapi juga
mendapatkan pahala berlipat sebab berlandasan niat kepada Allah Swt. Menuntut
ilmu atau belajar adalah kewajiban setiap orang Islam. Banyak sekali ayat
Al-Qur’an atau hadits Rasulullah Saw. yang menjelaskan tentang kewajiban
belajar. Kewajiban tersebut ditujukkan kepada perempuan dan laki-laki. Wahyu
pertama yang diterima Nabi Saw. adalah perintah untuk membaca atau belajar.
Q.S. Al-‘Alaq (96):1-5 sebagai berikut :
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى
خَلَقَ
iqra` bismi rabbikallażī
khalaq
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,”
خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ
khalaqal-insāna min ‘alaq
“Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah.”
ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ
iqra` wa rabbukal-akram
“Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah,”
ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ
allażī ‘allama bil-qalam
“Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam,”
عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ
‘allamal-insāna mā lam
ya’lam
“Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Kewajiban menuntut ilmu bagi
perempuan dan laki-laki adalah tanda bahwa agama Islam tidak membeda-bedakan
hak dan kewajiban manusia karena jenis kelaminnya. Meskipun memang ada beberapa
kewajiban yang diperintahkan Allah Swt. dan Rasul-Nya yang membedakan laki-laki
dengan perempuan. Tapi, dalam menuntut ilmu, keduanya mempunyai kewajiban dan
hak yang sama. Perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai khalifah di muka bumi
dan sebagai hamba (‘abid). Untuk menjadi khalifah yang sukses, maka seorang
Muslim sudah tentu membutuhkan ilmu pengetahuan yang memadai. Bagaimana mungkin
seseorang dapat mengelola dan merekayasa kehidupan di bumi ini tanpa bekal ilmu
pengetahuan ? Untuk mencapai tingkat keyakinan atau keimanan hamba yang
tertinggi kepada Allah Swt. dan makhluk-makhluk-Nya yang gaib, maka dibutuhkan
ilmu pengetahuan yang luas. Menuntut ilmu tidak dibatasi oleh jarak dan waktu.
Tentang jarak, ada ungkapan yang menyatakan bahwa tuntutlah ilmu hingga ke
negeri China. Islam juga mengajarkan bahwa menuntut ilmu dimulai sejak lahir
hingga liang lahat.
Aktivitas menuntut ilmu tidak
mengenal waktu dan jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang
sama dalam menuntut ilmu. Setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki bisa
mengembangkan potensi yang diberikan oleh Allah Swt. kepadanya. Dalam Islam,
menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah. Ibadah tidak terbatas dalam bentuk
masalah salat, puasa, haji, dan zakat. Menuntut ilmu bahkan dianggap sebagai
ibadah yang utama, sebab dengan ilmulah kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah
yang lainnya dengan benar. Imam Ja’far al-Shâdiq pernah berkata : “Aku sangat
senang dan sangat ingin agar orang-orang yang dekat denganku dan mencintaiku
dapat belajar agama, dan supaya ada di atas kepala mereka cambuk yang siap
mencambuknya ketika ia bermalas-malasan untuk menuntut ilmu agama.” Berikut
adalah pentingnya mencari ilmu pengetahuan bagi seperti apa yang diperintahkan
oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan Sunnah sebagai berikut :
Pertama, pentingnya belajar dan
mencari atau menuntut ilmu dalam Islam adalah seperti yang telah diperintahkan
oleh Allah Swt. dalam surat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam dimulai dari kata “bacalah”.
Apabila diurutkan dari lima ayat awal, maka kita akan dapatkan kata “bacalah”,
“mengajar” dan “kalam”, akan terlihat betapa pentingnya membaca, belajar,
menulis dan mengajar. Nabi Muhammad Saw. mewajibkan kepada tiap Muslim untuk
memeroleh pengetahuan. Dalam sebuah hadis, beliau menyuruh umatnya menuntut
ilmu walaupun sampai ke negeri China. Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa
mencari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bisa menjadi penebus dosa-dosa yang
pernah dilakukan.
Kedua, doa para Nabi Muhammad Saw.
dan orang-orang saleh banyak disebut dalam Al-Qur’an. Allah Swt. memerintahkan
kepada umatnya dalam al-Qur’an untuk berdoa: “…Ya Tuhanku, tambahkanlah
kepadaku ilmu pengetahuan.” Doa tersebut adalah doa yang cukup populer bagi
umat Islam selama berabad-abad dan bahkan anak-anak kecil dari keluarga muslim
sudah menghafalkan dan membaca doa ini.
Ketiga, manusia adalah makhluk
ciptaan Allah Swt. yang paling sempurna dan itu dikarenakan Allah Swt.
memberikan akal pikiran serta pengetahuan kepada manusia. Sebab, akal pikiran
serta pengetahuanlah yang membuat manusia lebih utama dibandingkan malaikat.
Allah Swt. mengajarkan kepada Nabi Adam a.s. nama-nama benda lalu kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat. Hikmah atau ilmu adalah harta paling
berharga di dunia dan merupakan kekayaan yang tiada habisnya. Allah Swt.
menganugerahkan al-hikmah yaitu kepahaman yang dalam tentang al- Quran dan
al-Sunnah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Keempat, Islam begitu menekankan
betapa pentingnya pendidikan. Dalam Q.S. al-Taubah Ayat 122, Allah Swt.
berfirman: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.” Jihad adalah kewajiban bagi tiap Muslim laki-laki
dewasa ketika keamanan Islam dalam bahaya. Bahkan dalam keadaan darurat dan
kritis pun kewajiban untuk belajar tetap tidak hilang. Orang-orang beriman
diserukan agar jangan semua diantara mereka itu pergi berjihad ke medan perang.
Akan lebih baik jika mereka menyisakan sebagian lagi untuk belajar agama
sehingga memiliki kemampuan untuk mengajar nantinya. Nabi Muhammad Saw.
membebaskan para tawanan perang Badar tanpa tebusan, cukup dengan syarat para
tawanan tersebut mengajarkan anak-anak muslim bagaimana membaca dan menulis. Hal
ini memperlihatkan pandangan Nabi Muhammad Saw. tentang pentingnya pendidikan
dan melek huruf bagi anak-anak Muslim.
Kelima, para ahli tafsir umumnya
berpandangan bahwa Q.S. al-Ahzâb ayat 34 ditujukan bagi istri-istri Nabi
Muhammad saw. Istri-istri Nabi Muhammad saw. diinstruksikan untuk belajar
apa-apa yang telah dibacakan di rumah mereka dari al-Qur’an dan hikmah. Istri-istri
Nabi Muhammad saw. menjadi sosok ”Ibu” bagi umat Islam baik ketika Nabi
Muhammad saw. masih hidup ataupun ketika beliau sudah wafat. Istri-istri Nabi
merupakan sosok yang dalam kesehariannya banyak mendapatkan pengajaran langsung
darinya. Peran seorang ibu dalam Islam sangat vital karena seorang ibu bertugas
mendidik dan membina anak-anak agar tercipta generasi-generasi penerus yang
bisa dibanggakan baik akhlak dan kepribadiannya, ilmu agama dan ilmu
pengetahuannya.
Keenam, berdasarkan QS. al-Mujâdilah
ayat 11, niscaya Allah Swt. akan memberikan derajat yang tinggi serta
penghargaan kepada orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. QS. Ali Imrân
ayat 18 memasukkan orang-orang yang berilmu di antara mereka yang menyatakan
tentang Keesaan Allah.
Ketujuh, pentingnya menulis dan pena
yang merupakan simbol dari menulis mendapatkan tempat khusus dalam QS.
al-Qalam: 1-2, Allah Swt. bersumpah demi pena, dan di ayat lainnya Allah
memerintahkan orang-orang beriman apabila mereka bermuamalah agar tidak lupa
untuk menuliskannya. Semangat belajar dalam Islam selain dicontohkan para istri
Nabi saw. juga langsung dicontohkan para sahabat. Banyak di antara sahabat yang
kemudian dikenal sebagai para “ahli perawi hadits” yang mana mereka menghafal
dan mentransmisikan kembali puluhan, ratusan sampai ribuan hadis Nabi Muhammad
SAW. secara lisan dari ingatan mereka. Pada generasi berikutnya, rekor ini
dipecahkan dengan lebih spektakuler lagi. Imam al-Bukhari menghafal sekitar
100.000 hadits shahih, dan kurang lebih 200.000 hadits lainnya dari berbagai
tingkatan.
Hidayah, Takwa, dan Ilmu
Imam al-Ghazali menulis kitab
berjudul Bidâyah al-Hidâyah yang jika dalam bahasa Indonesia bisa diartikan
sebagai awal tumbuhnya hidayah. Secara umum, kitab tersebut berisi etika atau
adab sehari-hari dalam kehidupan seorang Muslim, dimulai sejak bangun tidur
sampai tidur kembali.
Dalam muqaddimah kitab tersebut, Imam
al-Ghazali menyatakan bahwa hidâyah adalah tsamrah al-‘ilm yakni buah dari
ilmu. Dengan kata lain, hidayah tidak akan tercapai tanpa landasan ilmu. Hal
lain yang disampaikan dalam kitab ini adalah bahwa niat mencari ilmu mesti
berlandaskan niat, demi meraih hidayah Allah Swt. Dalam pembukaan Bidâyah
al-Hidâyah, Imam al-Ghazali menulis sebagai berikut : “Sesungguhnya hidayah, yang
merupakan buah dari ilmu, mempunyai pangkal (bidâyah) dan ujung (nihâyah), yang
tampak (zhâhir) dan yang tersembunyi (bâthin). Tidak mungkin sampai ke ujungnya
sebelum memantapkan pangkalnya. Tidak akan mengerti bâthin-nya sebelum
menyaksikan (musyâhadah) terhadap zhâhir-nya.”
Imam al-Ghazali menyatakan :
“Ketahuilah, manusia dalam mencari
ilmu berada dalam tiga keadaan.
Pertama, orang yang mencari ilmu
sebagai bekal kembali kepada Allah Swt., tidak menghendaki selain ridhaNya dan
(kebahagiaan) negeri akhirat, maka inilah orang yang beruntung.
Kedua, orang yang mencari ilmu untuk
membantu kehidupannya yang sesaat (pragmatis), demi memperoleh kemuliaan,
pangkat, dan harta; Padahal dia mengerti dan menyadari dalam hatinya akan
kerapuhan posisinya dan kerendahan tujuannya yang seperti itu; maka ia termasuk
orang yang berada dalam bahaya besar. Jika ajalnya menjemput sebelum sempat
bertaubat, dikhawatirkan ia terjerumus dalam sû’ al- khâtimah. Urusan dirinya
pun berada di tepi jurang, tergantung kehendak Allah Swt. (apabila dia mau akan
diampuni, jika tidak maka akan disiksa). Jika seorang manusia mendapat taufiq
untuk bertaubat sebelum tibanya ajal, kemudian menyandarkan kepada ilmunya itu
amal, sekaligus berusaha mendapatkan apa yang pernah dilewatkannya, maka ia
akan menyusul kelompok orang-orang yang beruntung diatas. Sesungguhnya orang
yang bertaubat dari dosa sama halnya dengan orang yang tidak berdosa.
Ketiga, orang yang dikendalikan oleh
setan sehingga menjadikan ilmunya sebagai sarana untuk menumpuk harta, mengejar
pangkat, berbangga diri dengan banyaknya pengikut; (Di mana) ia memanfaatkan
ilmunya untuk memasuki segala celah demi meraih dunia dan semua keinginannya;
Padahal dia merasa dirinya di sisi
Allah Swr. mempunyai kedudukan mulia, karena ia mengenakan simbol-simbol para
ulama’, memakai “uniform” kebesaran mereka, baik dalam berpakaian maupun
berbicara; disertai kegesitan untuk meraup keuntungan duniawi, maka ia adalah
orang yang akan binasa. Ia orang dungu yang tertipu, terputus harapan darinya
untuk bertaubat sebab ia menyangka dirinya termasuk orang-orang yang berbuat
baik (muhsin).” Golongan ketiga yang disebutkan Imam al-Ghazali adalah para
ulamâ’ al-su’, yakni orang-orang yang keberadaannya lebih dikhawatirkan oleh
Rasulullah saw. dibanding Dajjal sekalipun. Mereka adalah orang-orang pintar
yang hanya berkepentingan untuk menyesatkan manusia. Kepentingan memalingkan
mereka kepada harta dan kenikmatan duniawi, baik dengan perkataan atau
perbuatan. Dengan perbuatan dan sepak-terjangnya, mereka menyeru kepada dunia,
padahal “lisân al-hâl afshah min lisân al-maqâl”. Perbuatan berbicara lebih
fasih dibanding perkataan.
Menurut Imam al-Ghazali, merekalah
penyebab semakin beraninya orang-orang awam untuk berpaling kepada dunia.
Sebab, orang awam tidak akan berani mengharapkan dunia kecuali para ulamanya
telah berbuat demikian terlebih dahulu. Mestinya dengan menuntut ilmu, ilmu
yang didapatkan akan membuat seorang manusia menjadi takwa dan mejemput
hidayah, bukan malah membuatnya menjadi sombong.
Oleh : Ayu Alfiah Jonas
Sumber : https://bincangsyariah.com/
📚📖
ReplyDelete