Proses
belajar-mengajar seringkali bertumpu pada kemampuan seorang guru dalam
menyampaikan informasi dan ilmu pengetahuan. Para murid atau publik umumnya
tidak jarang meleset dari pemahaman yang semestinya. Hal itu lantaran adanya
kesenjangan komunikasi (miscommunication) antara kedua belah pihak. Dalam
konteks ini, Rasulullah Muhammad SAW merupakan suri teladan yang terbaik.
Beliau shalallahu 'alaihi wasallam memberikan sekurang-kurangnya tiga metode.
Seluruhnya dapat menjadi model bagi guru atau insan pengajar dalam proses
transmisi keilmuan.
Kesabaran
: untuk memahaminya, lihatlah bagaimana kitab suci Alquran diturunkan oleh
Allah Ta'ala kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Kitabullah itu
sampai secara berangsur-angsur, tidak seketika utuh. Oleh karena itu,
Rasulullah SAW pun mengajarkan Alquran dan menerapkannya seiring dengan
tahapan-tahapan turunnya teks yang teramat mulia itu. Proses pengajaran ini
memerlukan waktu yang panjang dan daya juang yang tinggi. Hikmahnya, seseorang
hendaknya bersabar dalam memberikan materi-materi keilmuan kepada sasaran
didiknya. Semua butuh proses. Tidak mungkin seketika, karena bila hal yang
buru-buru diterapkan, justru memperbesar peluang miskomunikasi.
Akrab : meskipun berkedudukan amat mulia di tengah umat manusia, Rasulullah SAW menyukai kerendahan hati. Sebab, itulah kunci dalam menjalin komunikasi dan relasi sosial yang baik dengan siapapun. Dengan demikian, pengajaran ilmu pengetahuan akan lebih diterima dengan simpati dan mendapatkan khalayak yang semakin luas. Tidak mungkin seorang ulama hidup dalam keadaan eksklusif. Adanya kerahiban sendiri dikecam dalam ajaran Islam.
Tak
monoton : adalah wajar bagi seseorang untuk bosan dalam menghadapi rutinitas.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW membuat pengajarannya secara variatif. Selain
untuk mengelak dari kebosanan, cara ini juga berfungsi membuat para
pendengarnya lebih terkesan. Simak misalnya hadis riwayat Ibnu Mas’ud berikut:
“Nabi SAW memilih hari-hari tertentu untuk menyampaikan mauidzah kepada kami
karena beliau khawatir kami merasa bosan.” Segenap prinsip pengajaran itu dapat
bermuara pada fungsi akhlak di tengah manusia. Betapa pentingnya persoalan
akhlak ini di atas ilmu. Sekalipun, umpamanya, yang disampaikan seseorang itu
hanyalah ilmu sains murni tetapi cara pengajarannya dengan akhlak, maka itu
lebih bernilai islami karena sesuai dengan keteladanan Rasulullah SAW. Apatah
dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.
Oleh
karena itu, cakrawala keilmuan seorang ulama hendaknya berbanding lurus dengan
keluhuran budi pekerti yang bersangkutan di tengah masyarakat. Bila tidak
demikian, ulama tersebut dapat dikatakan belum utuh mengikuti akhlak Rasulullah
SAW.
Sumber : https://khazanah.republika.co.id/

Comments
Post a Comment