Dalam
konteks media sosial dan pemasaran online, "buzzer" merujuk pada seseorang atau akun yang dibayar
untuk mempromosikan produk, jasa, calon politikus, atau ide tertentu di
internet, seringkali tanpa menyatakan bahwa endorsemen mereka adalah berbayar. Cara
kerjanya buzzer membuat konten (postingan, tweet, review, video) yang terlihat
seperti opini yang organik dan jujur, tetapi sebenarnya adalah bentuk iklan
atau propaganda. Karakteristik utama buzzer adalah sebagai berikut :
1. Promosi Berbayar : mereka
mendapat kompensasi, baik berupa uang, produk gratis, atau manfaat lainnya.
2. Agenda Tersembunyi : seringkali
tidak secara jelas menyatakan bahwa konten mereka adalah iklan (iklan atau sponsored).
3. Tujuan : untuk
menciptakan "buzz" atau tren, memanipulasi opini publik, memengaruhi
pemilihan umum, atau meningkatkan popularitas suatu merek secara artifisial.
4. Platform : mereka
aktif di Twitter (X), Instagram, TikTok, Facebook, YouTube, dan di kolom
komentar blog.
Buzzer
sering kali memiliki konotasi negatif,
dikaitkan dengan astroturfing (praktik menipu untuk memanipulasi opini
publik dirancang agar terlihat seperti gerakan grassroots yang
spontan, organik, dan berasal dari akar rumput (rakyat biasa), padahal
sebenarnya didanai dan diorganisir oleh pihak-pihak yang berkepentingan
(seperti perusahaan, pemerintah, partai politik, atau LSM), review palsu, dan
kampanye disinformasi. Di Indonesia, istilah "buzzer" sangat identik
dengan aktivitas politik di media sosial. Berikut adalah ciri-ciri akun buzzer
politik di Indonesia berdasarkan pola dan perilaku yang sering terobservasi :
Pola Aktivitas yang Tidak Wajar
(Inorganic)
1. Pembelajaran Mesin (Bot-like) : banyak
yang menggunakan alat otomatis (bot) untuk melakukan like, retweet, atau reply
secara massal dalam waktu yang sangat singkat.
2. Spam Hastag : sangat
aktif dan agresif dalam mempromosikan hashtag tertentu, seringkali dengan
copy-paste konten yang sama persis dari banyak akun.
3. Waktu Posting : aktif
24 jam atau pada jam-jam yang tidak wajar (contoh: pukul 3 pagi terus-menerus),
mengindikasikan bukan akun manusia sungguhan atau dikelola oleh shift.
Konten
yang Bias dan Emosional
1. Satu Sisi Ekstrem : hampir
tidak pernah memposting kritik terhadap kandidat atau partai yang didukungnya.
Selalu memuji secara berlebihan (overpraising) dan menyangkal semua kelemahan.
2. Narasi Seragam : menggunakan
kata kunci, tagar, dan narasi yang persis sama dengan akun-akun sejenis,
seolah-olah berasal dari "script" atau panduan yang sama.
3. Menyebar Hoaks dan Disinformasi : sering
membagikan informasi yang belum terverifikasi, misleading, atau sudah terbukti
hoaks untuk membangun narasi yang menguntungkan pihaknya.
4. Attack Mode : fokusnya
bukan pada promosi program, tetapi lebih sering pada menyerang, mendelegitimasi, dan mencerca
lawan politik (opposition bashing). Mereka ahli membuat
konten yang memecah belah (divisive).
Karakteristik
Akun
1. Anonymous Identity (Anonim) : banyak
yang menggunakan nama samaran, tanpa foto diri yang jelas (hanya menggunakan
gambar produk, karakter, atau logo), dan informasi profil yang minim. Ini untuk
menyembunyikan identitas asli dan menghindari tanggung jawab.
2. Akun "Egg" atau Baru : tidak
sedikit yang merupakan akur baru (fresh account) yang tiba-tiba sangat aktif
membahas politik. Atau, akun yang sebelumnya membahas hal biasa (seperti gosip
selebriti) tiba-tiba berubah haluan penuh ke politik.
3. Follower-Jumlah Tidak Seimbang : Memiliki jumlah follower yang banyak (ribuan
atau puluhan ribu) tetapi engagement-nya
(like, reply) sangat rendah dan didominasi oleh akun-akun lain yang
dicurigai sebagai buzzer juga. Ini bisa indikasi follower dibeli (fake
followers).
Pola
Komunikasi dan Engagement
1. Reply Berjamaah : ketika
ada isu panas, mereka akan serentak membalas cuitan atau postingan akun media
berpengaruh (seperti jurnalis, pengamat, atau politikus lawan) dengan narasi
yang seragam.
2. Brigading : melakukan
"serangan" terkoordinir ke satu akun atau satu postingan untuk
membanjiri kolom komentar dengan narasi mereka dan menekan suara kritis.
3. Emosi Tinggi : bahasa
yang digunakan cenderung kasar, sarkastik, penuh umpatan, dan dirancang untuk
memancing emosi (provokatif).
Contoh Perilaku yang Spesifik : "Jokowi
Endgame", "Jokowi Devil", "Cebong vs Kampret": Istilah-istilah yang sangat populer digunakan
oleh buzzer pada Pilpres 2019. "Oppo Makar", "Oppo Demo
Bayaran" : Narasi yang sering digunakan untuk
mendelegitimasi aksi demonstrasi atau kritik dari oposisi.
4. Penyederhanaan Isu Kompleks: misalnya,
menyederhanakan isu ekonomi makro menjadi hanya soal "harga cabe
mahal" atau "BLT", tanpa konteks yang mendalam.
Penting
untuk Dicatat:
Tidak
semua akun yang mendukung suatu pihak adalah buzzer. Ada juga pendukung sungguhan (grassroot supporter) yang
memang tulus. Perbedaannya biasanya terletak pada :
1. Orisinalitas Konten : pendukung
sungguhan cenderung membuat konten sendiri dengan bahasanya sendiri.
2. Kritis terhadap Own Side : mereka
tidak segan mengkritik kesalahan kandidat atau partai yang didukungnya.
3. Engagement Organik : interaksinya
terasa manusiawi dan tidak seperti robot.
Dengan mengenali ciri-ciri di atas, anda bisa lebih waspada dan kritis dalam mencerna informasi politik di media sosial.
Comments
Post a Comment