Ketika
saya lulus jadi dokter kurang lebih seperempat abad yang lalu, istilah
neurosains belum begitu santer terdengar. Bahkan, urusan saling silang
serabutan kerja saraf dan otak dengan sederhana diringkas dalam mata kuliah
neurologi yang saat itu saja susahnya minta ampun. Memahami
sungguh bagaimana otak manusia bekerja dan organ inderawi ternyata hanyalah
sebagai reseptor – bukan pemberi idea sebenarnya fakta empiris – justru bisa
dicerna setelah saya jadi dokter dan mengajar, bukan menghafal jalur kerja
saraf yang berliku. Baru setelah dunia mengenal alat bernama Magnetic Resonance
Imaging (MRI), maka para profesor peneliti bisa menemukan sejumput bagian otak
manusia yang menempatkan kita akhirnya betul-betul sebagai ‘manusia’.
Bagian
otak itu bernama area lateral frontal pole prefrontal korteks. Istilah begitu
panjang untuk menunjuk suatu tempat kecil di bagian otak depan yang tidak
dimiliki oleh hewan yang paling mendekati kemiripannya dengan manusia: kera. Baru
di tahun 2015 jurnal penelitian memaparkan area kecil yang ‘memanusiakan
manusia’ tersebut berkaitan dengan kontrol perilaku. Rasanya tidak salah jika
saya menamakan bagian otak tersebut sebagai tombol moral dan etika. Semakin
tepat istilah itu, karena prefrontal korteks sendiri belum banyak berkembang di
usia kanak-kanak. Ingatan tentang hal di atas kembali terusik setelah begitu
banyak kejadian beruntun belakangan ini yang tidak masuk akal bagi saya.
Sebutlah
tentang video viral perempuan nyaris tanpa selembar benang yang muncul dua hari
berturut-turut di tempat yang berbeda. Ada apa dengan manusia-manusia yang
menonton bahkan tega-teganya merekam dijadikan video ? Apakah itu tindakan yang bernurani - ketimbang
cepat mencari apa pun sebagai penutup tubuh, entah selendang – taplak meja atau
gorden dan menyelamatkan perempuan itu serta segera menelepon polisi ? Ada apa
dengan supir taksi yang menerima penumpang tanpa busana itu ? Ada apa dengan
petugas apotik yang pastinya sempat berkomunikasi saat ia membeli sesuatu ? Bahkan,
ada apa pula dengan dokter yang tega-teganya membahas kasus perempuan ini
blak-blakan di media, tanpa mengingat jabatan profesinya mengharuskan dia
menutup mulut rapat-rapat demi alasan konfidensial !
Apakah
mereka semua ini lupa, bahwa perempuan itu juga punya martabat, punya keluarga,
punya masa depan yang harus dilindungi ? Selain kasus di atas, ujaran
kebencian, penggunaan kata-kata tak senonoh dan perilaku kekerasan juga tak
lepas dari ‘lemot’nya prefrontal korteks. Bukan suatu kebetulan, bahwa tetangga
area lateral frontal pole prefrontal korteks yang mengurus nurani itu adalah
area otak yang mengolah bahasa dan kemampuan kognitif. Sebagai dosen pembinaan
karakter di perguruan tinggi, saya tahu persis mahasiswa mana saja yang
bermasalah saat mereka hadir terlambat hanya bermodalkan kunci mobil, dompet
dan ponsel. Bahkan, mereka biasanya tidak peduli untuk membawa alat tulis.
Wajah
nanar melihat ke depan, tapi saya yakin isi kepala ada di mana-mana – dan saya
tidak berhak lagi memberitahu apa yang harus dilakukan setelah sekian semester
– karena mereka pada dasarnya manusia dewasa, yang orangtuanya sendiri saja
sudah kewalahan. Ada rasa sedih dan kasihan sebetulnya melihat para korban
kehidupan di usia dini seperti perempuan yg videonya viral itu, para begal,
para penghujat di media sosial dan beberapa anak muda kaya yang status
mahasiswanya berkat orangtua berduit, namun tak pernah berdiri sebagai panutan.
Orang-orang seperti itu pada dasarnya hanya ‘bertahan hidup’, mengandalkan otak
survival – bagian sistem saraf primitif yang hanya bicara ‘menang atau kalah’.
Sebagian
orang bahkan menyebut dengan bahasa yang lebih vulgar : otak reptil. Reptil
kelaparan akan makan telur atau anaknya sendiri. Tanpa nurani apalagi belas
kasihan. Akibat ‘trias politica’ pendidikan yang gagal : asuhan kognitif yang
tidak sepadan dengan afektif, tanpa disertai teladan psikomotor yang benar. Kebiasaan
mencari jalan pintas sebagai satu-satunya cara bertahan hidup membuat manusia
mundur secara kasta.
Berpikir
linier vs berpikir lateral
Pola-pola
berpikir linier menjadikan manusia akhirnya hanya mengandalkan kekerasan, atau
uang sebagai penyelesaian masalah, bahkan seks untuk meredam amarah atau solusi
pertengkaran. Sebaliknya, hanya anak-anak yang dibiasakan dari kecil memiliki
kemampuan berpikir lateral akan terasah menemukan kecerdasan, yang membuat
mereka bukan hanya kreatif, tapi juga menjalankan solusi ‘menang bagi saya,
jika kamu juga menang’. Perdamaian, kearifan dan kemampuan hidup dalam
keberagaman hanya bisa terjadi jika ini semua dimungkinkan.
Jika
fungsi belajar dan mengingat seperti hafalan biologi dan menyelesaikan soal
matematika melibatkan hipokampus di medial basal belahan temporal otak manusia
dan melibatkan otak besar yang sering diolah, justru nurani terletak di area
yang begitu kecil di otak depan – yang mestinya ‘dikedepankan’, tapi kerap
terlupa. Berbeda dengan memelajari hal yang membuat manusia nampak pintar,
nurani yang memuat masalah moral dan etik hanya bisa cemerlang bila diasah
dengan pendekatan normatif – yang membuat manusia memahami apa yang seharusnya,
apa yang menjadi tujuan akhir hidupnya dan apa yang memberi makna mendalam
baginya.
Nurani
yang menempatkan diri di area kecil lateral frontal pole prefrontal korteks itu
hanya bisa tumbuh dan berkembang jika orang mampu menghayati hidup dengan lebih
sadar, bertanggung jawab dan mempunyai otonomi moral. Orientasi hidup tidak
mati terpaku pada satu pilihan dan menjadi radikal tentang tujuan akhir hidup,
apalagi menebar hoax. Tapi, justru menumbuhkan kecerdasan lateral yang secara
intelektual mampu menanggapi masalah-masalah baru dengan berbagai cara arif dan
sekali lagi: bertanggung jawab. Bimbingan konatif sejak kecil bukan hanya
melatih anak berpuasa sebagai ritual komunitas atau ke panti asuhan hanya demi
solidaritas terhadap kaum yang kurang beruntung, tapi panutan moral yang baik
membuat anak bahkan di usia pra remaja bisa membangun kehendak serta pemurnian
dari pamrih dan nafsu yang tak teratur – yang justru merupakan makna puasa
sesungguhnya.
Remaja-remaja
impulsif dengan kelakuan dan ujaran eksplosif adalah fakta nyata gagalnya
pendidikan nurani. Mereka barangkali tidak salah, sebab mereka hanya mencontoh
orang-orang dewasa yang sama impulsifnya saat berebut kekuasaan, memaksakan
kehendak dan rakus memuaskan nafsu. Atau perilaku dewasa aneh tanpa nurani,
yang menertawakan orang saat sedang berjalan terbentur kaca yang tak terlihat. Atau
menambah kemacetan jalan raya hanya karena menonton kecelakaan – bahkan jika
perlu difoto, agar bisa jadi orang pertama
yang mengunggahnya ke media sosial. Tanpa sedikit pun berpikir untuk
menolong yang tertimpa petaka.
Sumber
: DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum.
Comments
Post a Comment