Proklamasi 17 Agustus 1945 |
Sampai hari ini kisah di seputaran
pembacaan teks proklamasi dan penaikkan bendera pada 17 Agustus 1945 di
pelataran rumah Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta, sangat susah
diketahui. Padahal banyak orang bertanya-tanya seperti apakah suasana saat itu ?
Apakah kala itu ada upacara yang megah, ataukah hanya peristiwa yang
berlangsung cukup singkat namun khidmat. Untunglah, setelah berburu lilelatur
ada satu buku yang berkisah saat-saat penting itu, yakni buku bertajuk ‘Aku Ingat, Rasa dan Tindak Siswa Sekolah
Kolonial di Awal Merdeka Bangsa’, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, tahun 1996. Dalam
buku itu terdapat kisah yang dituturkan Etty Abdurrahman, lulusan HBS dan PHS
Batavia yang pada masa awal kemerdekaan, yakni di tahun 1947 pernah
bekerja di seksi bahasa Prancis, Siaran Luar Negeri RRI Yogyakarta. Menurut
Ety : ”...Orang-orang yang mendengar Proklamasi Kemerdekaan ini bertepuk
tangan. Tidak ribut dan tidak meriah. Sopan dan terang.” Begitu kata Ety ketika
mendengar teks Proklamasi dibacakan oleh Bung Karno kala itu. Untuk Lengkapnya
beginilah kisah Ety ketika mengenang acara pembacaan proklamasi dan penaikan
bendera merah putih pada 17 Agustus 1945 :
...Aku
berdiri di bawah pohon bungur yang berbunga ungu di pekarangan rumah Bung
Karno, di Jalan Pegangsaan 56 Jakarta. Pagi cerah, Jumat 17 Agustus 1945,
suasana tenang tidak ada yang bicara keras. Orang yang dipekarangan tidak
banyak. Yang datang adalah orang-orang yang mendengar kabar bahwa hari itu akan
ada acara istimewa dan tidak diumumkan. Kami menunggu dan memperhatikan ruangan
depan rumah itu, di mana ada beberapa orang yang mondar-mandir, masuk dan ke
luar lagi. Akhirnya pada pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta ke luar dari
ruangan tengah dan berdiri di tangga diikuti oleh beberapa orang lain untuk
mengikuti acara yang akan dimulai. Dengan suara khas, Bung Karno membaca teks
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ditandatangani Soekarno-Hatta.
Tanggal
17 Agustus kami bebas dari segala penjajahan asing ! Kami orang Indonesia
mempunyai tanah air Indonesia yang berdiri sejajar dengan negara-negara merdeka
di dunia ini. Orang-orang
yang mendengar Proklamasi Kemerdekaan ini bertepuk tangan. Tidak ribut, tidak
meriah. Sopan dan tenang. Menunggu kemungkinan tindakan pembalasan dari tentara
Jepang yang masih ada di Indonesia. Namun tidak ada tindakan apapun dari pihak
Jepang, seakan mereka terima perubahan situasi di Indonesia dari tanah jajahan
menjadi tanah merdeka. Aku terharu. Ingin menangis tetapi tidak ada air mata
yang ke luar. Hanya tenggorokan yang terasa sakit, seperti ada barang yang
bergumpal di dalam dan tidak dapat ditelan. Aku sadar 17 Agustus 1945,
dengan Proklamasi Kemerdekaan selesailah perjuangan
politik dan selesai pula penderitaan pejuang-pejuang politik yang ke luar masuk
penjara karena berani menentang pemerintah penjajah asing. Aku melihat suatu
kaleidoskop politik, mulai dari Trikoro Dharmo, Boedi Oetomo, organisasi
nasional dan regional. Serikat Islam, dan seterusnya sampai melalui jalan
berliku-ilku mencapi klimaks yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Merdeka
! Dari tempatku berdiri aku melihat bendera merah putih dinaikkan ke tiang
bendera di sebelah kiri ‘Gedung Kemerdekaan’, nama yang kami sebut pada hari
itu, di bawah pohon bungur. Merah-putih warna bendera kita, yang sekarang bisa
berkibar bebas di atas kepala-kepala kita; Tidak lagi
sembunyi-sembunyi kalau lewat kantor penjajah asing.
Dengan
kemajuan politik, kita dulu diizinkan memaki ikat leher
untuk kepanduan (sekarang Pramuka). Tidak perlu lagi menunggu izin
atasan atau pemerintah untuk memakai bendera merah-putih sebagai tanda
Indonesia di gedung-gedung pemerintah dan di mana saja kita berada, baik di
dalam maupun di luar negeri. Merah putih kebanggan kita, dapatkan kita
pertahankan bendera kita sesudah 17 Agustus 1945? Harus! Tidak ada jawaban
lain. Kesadaran itu meresap dalam tubuhku ketika melihat bendera kita di
Pegangsaan Timur 56 Jakarta, naik dengan perlahan ke atas kepala kami dan
akhirnya mencapai puncaknya untuk berkibar bebas, lepas ditiup angin pagi. Setelah
acara selesai kami semua bergembira. Ada yang cepat meninggalkan tempat itu
untuk mengabarkan kawan-kawan yang tak hadir pada acara penting itu. Aku pulang
dengan berbagai perasaan. Gembira, berat hati, lelah, perasaan tak tentu.
Merdeka !
Sumber : http://nasional.republika.co.id
Comments
Post a Comment