Shalat Idul Adha di PPSDM Aparatur (Gedung Geologi) Cisitu Bandung 01/09/2017 |
Hakikat
Idul Adha adalah kembali kepada pemahaman nilai kurban yang berpangkal dan
konsep keimanan dan kemanusiaan, dua pilar terpenting peradaban manusia. Kata
“kurban” mengandung tiga makna yang sarat dengan pelajaran moral (i‘tibar) yang
bisa membekali manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai Ilahiah serta
kemanusiaan, terutama bagi bangsa Indonesia yang saat ini diuji oleh sindikat
penyebar kebencian berbasis SARA seperti yang dilakukan kelompok Saracen.
Makna
Pertama
Pertama,
kurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan antara
hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi jika sang hamba berjiwa
kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat. Untuk itu, ketika takbir Idul Adha datang
menyapa relung batin manusia, maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup
nafsu, ambisi, dan kepentingan pribadi harus tergugah. Allah Maha Dekat yang
kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan keseriusan
berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang selama ini telah
ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan kepongahan. Zikir kepada Allah
(dzikrullâh) adalah upaya untuk menyucikan hati, menenteramkan hati, dan
mengkhusukkan kalbu sehingga seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi
terhadap kesalahan dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang
lain. Kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa
diminimalisasi, bahkan ditepis dengan zikir. Dengan zikir, hati yang selama ini
gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga prasangka, dendam,
dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih.
Ketika
kita diterpa musibah dan bencana silih berganti, hati yang gelap pun bertanya,
“Di manakah pertolongan Allah?” Pertanyaan ini muncul dari keraguan dan
prasangka terhadap Allah SWT. Selama ini, orang yang mengharap pertolongan
Allah justru sering berbuat aniaya terhadap dirinya dan orang lain (zalim). Manusia
yang hatinya gelap juga gemar menghujat ajaran kelompok lain yang dirasa
berbeda, tetapi perilaku serta ajaran yang dihujat justru tumbuh subur dalam
aliran darah yang menghujat. Orang seperti itu sering mengutuk, mencaci, dan
menghina orang lain, tetapi diam-diam (sadar atau tidak) ia ternyata
menggantikan kemungkaran dan kebiadaban orang yang dikutuknya. Jiwa yang kosong
dari dzikrullâh acapkali senang dalam suasana perpecahan, bukan kebersamaan. Ia
tenggelam dalam belenggu perang saudara, bukan penyembuhan luka bangsa.
Perpecahan dan perang saudara tentu saja mengakibatkan kesengsaraan batin,
selain juga merupakan tabungan dosa yang menjadi tirai penutup kedekatan
seseorang kepada Allah.
Makna
Kedua
Kedua,
kurban merupakan konsep pengurbanan yang dilandasi keikhlasan dalam menjalankan
pengabdian, tugas, dan perjuangan tanpa mengharapkan balasan dan pujian serta
keuntungan materi yang menjadikan nilai kesalehan menjadi sia-sia. Keikhlasan
dan ketulusan jiwa akan memunculkan ketegaran dan keistiqamahan, meskipun
seseorang diasingkan, dikucilkan, dan ditinggalkan oleh masyarakat yang telah
terpedaya hawa nafsu. Lebih dari itu, rasa ikhlas yang sejati akan membuat
hidup seseorang selalu merasa memeroleh kemenangan dalam kekalahan, kenyang
dalam kelaparan, cukup dalam kekurangan, aman dalam ketakutan, dan selalu
optimis meskipun derita datang mendera. Kehancuran bangsa dan negara ini akan
terjadi karena menipis dan memudarnya rasa pengurbanan warga negara, khususnya
para pemimpin dan elit politik, untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran. Yang
mereka pikirkan adalah: “Apa yang dapat diperoleh dari negara ini, bukan apa
yang dapat diberikan kepada bangsa dan negara.”
Di
masa "kerja bersama" ini masih ada para penguasa (elit politik dan
elit ekonomi) justru mengorbankan rakyat kebanyakan, khususnya kaum lapis
bawah. Para penguasa itu bersimpang jalan dengan semangat “kurban”. Mereka
berwatak serakah dan materialistik. Mereka mengkhianati rakyat dengan prilaku
korupsi seperti yang terjadi di beberapa Kementrian, pemda dan snggota
legeslatif. Tujuan pendek dan kesenangan sesaat yang acapkali menipu dan
mengelabui akan sirna oleh keikhlasan yang muncul dari pribadi yang selalu
mengharap cahaya Allah. Kita sebaiknya bercermin dari ketulusan (keikhlasan)
dan keberanian para Nabi dan Rasul untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Suatu
pengabdian dan perjuangan yang tulus akan mendapatkan balasan yang setimpal
dari Allah SWT. Sosok yang ikhlas dan siap berkurban biasanya akan tegar
mengalami penderitaan dan cobaan. Ia juga tabah dalam hujatan dan caci maki.
Ibarat lilin, ia membiarkan dirinya terbakar agar memancarkan cahaya yang mampu
menerangi saudara, tetangga, masyarakat, dan generasi yang akan datang. Keikhlasan
akan menjauhkan seseorang dari sikap zalim. Orang yang zalim mencoba meraih
kesuksesan di atas penderitaan, kepedihan, dan kesusahan orang lain. Orang yang
zalim akan selalu berkhianat dan menjadikan orang lain sebagai tumbal untuk
mengeruk keuntungan. Kesuksesan umat untuk keluar dari bencana dan tragedi
kemanusiaan tergantung pada keikhlasan, ketulusan, dan pengabdian mereka demi
mengharap ridha Allah semata.
... khusyu |
Makna
Ketiga
Ketiga,
kurban yang disimbolkan dengan menyembelih hewan merupakan suatu teladan dari
Nabi Ibrahim saat diperintah oleh Allah untuk mengurbankan Ismail, putra
terkasihnya. Teladan agung tersebut seharusnya mampu menyentuh kesadaran
intelektual dan imajinasi seorang hamba. Tindakan Nabi Ibrahim merupakan simbol
kemenangan seorang manusia atas nafsu hewaniah, ego kecil, romantisme
kepentingan pribadi, dan sentimentalitas cinta kasih lokal. Manusia sebenarnya
telah mengenal konsep “kurban” sejak dahulu; bahkan sejak masa Habil dan Kabil,
dua putra Nabi Adam yang diperintahkan “berkurban” untuk menguji ketulusan
mereka berdua di hadapan Allah. Dari kisah Habil dan Kabil bisa diambil
pelajaran bahwa Allah menerima “kurban” yang dipersembahkan seseorang bukan
dari bentuk lahiriah sesuatu yang dikurbankan, melainkan dari ketulusan jiwa
yang berkurban. Semangat berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim bukanlah
perbuatan untuk mengurbankan manusia lainnya demi tujuan dan keuntungan sesaat
yang keji sebagaimana dilakukan para penguasa lalim sepanjang sejarah,
melainkan suatu sikap untuk menyerahkan sesuatu yang dititipkan oleh Allah.
Ketika
Allah telah dinomorsatukan dalam kehidupan, maka demi mempertahankan aqidah
yang mengharuskan kejujuran, keadilan, dan ketulusan, apapun siap dikurbankan,
entah materi, pangkat, jabatan, nama baik, dan nyawa sekalipun. Hal itu telah
dicontohkan oleh Nabi Ibrahim yang mengajarkan kepasrahan dan kerelaan demi
mengesakan Allah. Dalam kehidupan modern, peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim
sering terlupakan. Padahal, dari sana bisa ditarik pelajaran berharga bahwa
Allah sangat mengasihi umat manusia karena manusia tidak boleh dikurbankan dan
diganti dengan hewan. Dengan semangat Idul Qurban, manusia harus mampu
“menyembelih” watak buruk dan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya;
seperti rakus, serakah, zalim, menindas, dan tidak mengenal hukum dan norma.
Sumber
: REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : KH Maman Imanulhaq
Suasana pembagian daging kurban di Mesjid Al Munajah Margahayu Raya Bandung |
... urusan potong daging kurban, ibu-ibu PKK memang ahlinya ! |
... tetap melaksanakan shalat Jum'at, dua hari raya dalam satu hari .. indahnya ! |
Comments
Post a Comment