Menyinggung tentang influencer, saya
harus menceritakan kisah Joe Nicchi, penjual es krim dengan menggunakan truk di
Los Angeles, Amerika Serikat. Ia dikenal karena menolak influencer yang selalu
menginginkan es krim gratis sebagai pertukaran unggahan-unggahan di media
sosial mereka. Nicchi sangat galak dengan mengatakan "we are the
anti-influencer". Ia mengunggah konten di media sosialnya dengan membuat
tagar #InfluencerAreGross dan ditambahi kalimat "never give you a free ice
cream in exchange for a post". Kampanye ini menyebar ke berbagai belahan
dunia. Ia mendapatkan banyak simpati setelah ia melakukan
"penghinaan" terhadap para influencer. Penjualan es krimnya malah
meningkat pesat. Pengikut di akun Instagram-nya bertambah banyak. Liputan berbagai
media dunia menyebut ia sebagai pahlawan yang melawan "korupsi" di
dunia influencer. Nicchi awalnya menerima ajakan kerja sama para influencer
untuk menukar unggahan dengan es krim. Namun, ketika permintaan itu meningkat,
Nicchi sangat geram dan menganggap influencer semakin konyol. Ia mengaku tidak
nyaman dan pusing dengan permintaan influencer. Oleh karena itu, ia malah
meminta para influencer membayar double untuk satu es krim yang biasanya
seharga 4 dolar AS, mereka diminta membayar 8 dolar AS.
Di Indonesia, influencer semakin
menggurita ke berbagai ranah. Influencer masih dipercaya bisa meningkatkan
kesadaran akan suatu produk, mengedukasi konsumen, dan meningkatkan penjualan.
Influencer juga diyakini bisa memengaruhi gaya hidup pengikutnya. Tak heran apabila
banyak perusahaan mengundang influencer ke acara-acaranya. Saya teringat
beberapa kali obrolan ringan dengan rekan kantor yang harus bersinggungan
dengan influencer ketika liputan di lapangan. Kala itu, influencer sedang naik
daun sehingga semua permintaannya dipenuhi bahkan digelar karpet merah. Mereka
pun pada akhirnya mendominasi dan rekan saya pun menyingkir berusaha memaklumi
sekaligus tugas kantor sudah terpenuhi. Tak lama berselang, ternyata
penyelenggara acara pun mengaku kerepotan melayani para influencer. Di lain
kesempatan, seorang teman yang jualan secara online harus sibuk melayani
tawaran influencer dadakan minta barang gratisan. Awalnya, dia masih melayani
dan membalas chat dengan sopan, lama-lama dia pun kesal dan membiarkan
influencer itu berkoar sendirian. Lalu influencer pun merambah ke ranah
politik. Dulu, influencer di dunia politik dikenal dalam konteks artis yang
terjun ke dunia politik, mulai jadi anggota DPR atau kepala daerah. Kini,
perannya berkembang, influencer bisa menjadi kendaraan politik yang bisa
mengantarkan orang menjadi presiden, mempengaruhi pikiran dan menanamkan
keragu-raguan serta mengubah gaya hidup dan pandangan politik pengikutnya. Tak
jarang ya jadi kaki tangan kebijakan pemerintah. Tentu kita masih ingat rencana
pemerintah menggelontorkan miliaran rupiah untuk influencer demi mendatangkan
wisatawan di tengah pandemic Covid-19. Influencer pun pada akhirnya sering wara
wiri di lingkaran pemerintahan dan istana. Saya penasaran apa yang diobrolkan
ketika bertatap muka dengan para pejabat itu. Saya sih yakin bukan sekadar ajak
foto bersama di istana merdeka untuk menambah konten semata, melainkan ada
pesan yang dititipkan untuk diterjemahkan sesuai kapasitas influencer itu
sendiri. Pemerintah bermain di dua kaki? Entahlah. Iya kali. Dalam konteks
Covid-19 dan influencer, tentu nama Anji tak bisa dihilangkan. Musisi, yang
enggan dibilang mantan artis ini sudah dua kali bikin kontroversi terkait
Covid-19. Pertama mendompleng kerja fotografer National Geographic, Joshua
Irwandi yang mengabadikan momen jenazah pasien Covid-19 yang dibalut dengan
sangat ketat di kamar pasien. Anji pun menggiring narasi mendiskreditkan
kinerja jurnalis foto. Hal ini direspon cukup garang oleh Pewarta Foto
Indonesia (PFI) hingga membuat Anji minta maaf. Sayangnya, Anji tetap berusaha
meremehkan Covid-19 bahkan mendiskreditkan profesi lainnya.
Tak lama, Anji kembali membuat
kontroversi dengan mengundang professor Hadi Pranoto yang entah dia dapat dari
mana. Obrolan keduanya membahas klaim telah menemukan “antibodi Covid-19” dan
obat tersebut mampu mencegah dan menyembuhkan Covid-19 dalam hitungan hari.
Bahkan, katanya, obat tersebut telah digunakan di RS Darurat Wisma Atlet
Kemayoran. Unggahannya kali ini berujung pada pelaporan ke pihak kepolisian.
Saya sih ragu pelaporan ini akan segera diproses oleh polisi. Tapi ya kita
lihat nanti. Tak hanya Anji, ada pula Yuni Shara dalam satu wawancara
mengenakan kalung eucalyptus yang diklam oleh Kementerian Pertanian sebagai
antivirus corona. Yuni mengaku mendapatkan rasa aman dengan menggunakan kalung
tersebut. Bagi saya, apa yang dilakukan Anji, Yuni, atau influencer lainnya, yang
tidak saya deteksi alias malas buang-buang energi, itu jahat. Menciptakan rasa
aman semu tidak menjadikan isu tertentu seperti Covid-19 menjadi hal yang
benar-benar aman. Justru yang terjadi malah membuat para pengikutnya abai dan
melahirkan keragu-raguan yang berujung pada keyakinan bahwa Covid-19 tidak
berbahaya. Lalu protocol kesehatan pun tak dianggap penting, yang tertular
semakin banyak, angka kematian pun meningkat. Kapan selesainya Covid-19 kalau
terus-terusan seperti ini ? Satu hal yang bikin saya sedikit meradang terhadap
influencer sejenis ini adalah lelahnya menghadapi dampak lanjutan yang
ditimbulkan. Mereka bisa seenaknya mengunggah konten, klaim sana-sini, dapat
viewers banyak, dapat cuan, kalau banyak yang protes tinggal minta maaf tanpa
tanggung jawab lanjutan. Lalu mengulangi hal yang sama dengan formula yang
sedikit diubah. Sedangkan orang lain harus bersusah payah memberikan edukasi
secara ilmiah, memadai serta mudah dicerna, mencari orang yang credible untuk
dimintai pendapatnya, dan memastikan masyarakat sadar dengan kondisi riil yang
sedang terjadi. Bagi saya, mereka ini yang bikin susah. Dia yang buang kotoran,
kita yang capek membersihkan kotoran yang mereka tinggalkan sembarangan.
Oleh : Esthi Maharani
Sumber : https://republika.co.id/
Catatan :
Influencer sekarang telah menjadi profesi, beberapa menjadi alternatif 'cari duit' oleh para selebriti yang ingin menjadi lebih populer atau yang popularitasnya sudah menurun. Sayangnya banyak yang kurang sadar, bahwa sebagaimana halnya sebuah profesi, tentu saja menuntut pengetahuan yang cukup, profesionalitas dan tanggung jawab bukan hanya asal banyak followers. Bukan tidak mungkin jika dibiarkan maka istilah 'influencer', khususnya di Indonesia mendapat stigma negatif dari masyarakat sebagai penyebar berita bohong (yang penting heboh), tidak bertanggung jawab, amatiran, ajang cari duit selebriti dan lain-lain. Ini akan sangat merugikan influencer yang benar-benar profesional !
Comments
Post a Comment