Suatu ketika Nabi Muhammad SAW pernah
bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah kalian, siapakah orang yang muflis
(orang yang bangkrut) itu ? Karena tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nabi, para
sahabat pun menjawab, menurut kami, muflis itu adalah orang yang tidak
mempunyai harta benda.” Jawaban itu tentu bukan yang dimaksud oleh Nabi. Seraya
meluruskan jawaban mereka, Nabi lalu menjelaskan bahwa yang muflis di antara
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal-amal
shalat, puasa, dan zakat. Tetapi, ia pernah mencaci, menuduh zina, merampas
harta, membunuh, dan memukul orang lain. Maka pahala kebajikan orang tersebut
akan diberikan, sebagai tebusan kepada orang-orang yang dizaliminya itu. Dan,
apabila kebajikannya sudah habis, sementara kesalahan-kesalahannya belum semua
tertebus, dosa orang-orang tersebut akan ditimpakan kepada orang tadi.
Kemudian, ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim). Itulah orang yang
muflis !
Hadis dialogis tersebut sangat sarat
dengan spirit muhasabah (audit diri). Pertama, penyebab kebangkrutan amal
seseorang adalah kejahatan sosial, termasuk korupsi. Neraca kesalehan
individual seseorang ketika ditimbang dengan kejahatan sosialnya ternyata lebih
ringan sehingga seseorang menjadi ‘tekor’ dan akhirnya bangkrut. Kedua, orang
yang miskin harta belum tentu bangkrut di akhirat, sementara orang yang kaya
harta belum jaminan beruntung di akhirat. Orang yang kaya harta boleh jadi
muflis di akhirat jika hartanya diperoleh melalui cara-cara yang tidak halal,
seperti korupsi. Jadi, koruptor itu pasti merugi, bahkan bangkrut secara moral,
baik di dunia maupun akhirat. Ketiga, muflis itu pasti merugi di akhirat karena
neraca keburukan amalnya lebih berat daripada amal salehnya, kendatipun ia
mengaku beriman. Oleh karena itu, Al Qur’an mengingatkan kepada kita bahwa agar
tidak merugi, kita harus mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal saleh, saling
menasihati untuk menaati kebenaran dan menghiasi diri dengan kesabaran (QS
Alashr [103]: 1-3). Beriman dan beramal saleh saja memang belum cukup karena
seseorang terkadang dibuai oleh sifat takabur dan riya sehingga amal
kebajikannya berkarat dan berkeropos.
Orang muflis mulanya merasa bangga
dan takjub kepada dirinya bahwa ia telah shalat, puasa, zakat, haji, dan
lainnya, tapi dalam waktu sama ia juga melakukan dosa-dosa sosial dan moral.
Oleh karena itu, muhasabah menjadi sangat penting dilakukan kapan pun,
lebih-lebih pada akhir tahun, agar jangan sampai amal-amal saleh kita
tergerogoti oleh dosa-dosa sosial dan moral sehingga menjadi bangkrut, bahkan
tekor. Umar bin al-Khattab RA pernah berpesan : “Hitunglah [amalan] dirimu,
sebelum engkau dihitung [oleh Allah]”. Yang paling tahu neraca amal baik-buruk
adalah diri kita sendiri dan Allah SWT. Dengan audit diri (muhasabah), kita
dapat memposisikan diri sebagai hamba Allah yang merasa serbatidak sempurna
sehingga kita terpacu untuk istikamah
meningkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah kita kepada Allah. Untuk
menjauhkan diri dari kebangkrutan dunia dan akhirat, kita harus selalu memaknai
hidup dengan berusaha menjadikan masa depan kita lebih baik. “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang akan diperbuat untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS
Al-Hasyr [59]: 18). Bukankah kita termasuk merugi jika neraca amal kita sama
dengan hari kemarin atau tahun kemarin. Bahkan, kita sungguh terlaknat jika
hari ini, bulan ini, atau tahun ini, amal kita justru lebih menurun dari hari,
bulan, dan tahun sebelumnya.
Sungguh Allah SWT telah memberikan
modal hidup yang sangat besar bagi kita. Kesehatan, anggota badan, dan akal
pikiran yang dianugerahkan kepada kita mustahil dapat dinilai dengan harta.
Karena itu, audit diri agar tidak muflis harus dimaknai sebagai ekspresi syukur
kepada-Nya. Ketika Rasulullah ditanya oleh istri tercinta, Aisyah. Ya Rasul,
mengapa engkau mewajibkan dirimu untuk salat malam (tahajud) dan beristigfar
lebih dari 100 kali dalam sehari ? Padahal, tidakkah engkau sudah dipelihara
oleh Allah dari berbuat salah dan dosa (ma’shum) dan engkau pasti masuk surga ?
Rasul menjawab singkat : Aku melakukan semua itu karena aku ingin menjadi
hamba-Nya yang pandai bersyukur?” (HR Muslim). Wallahua’lam.
Oleh : Muhbib Abdul Wahab
Sumber : https://republika.co.id
Comments
Post a Comment