Ikhlas (berakar kata khalasha)
berarti jernih, bersih, murni, dan suci dari campuran dan pencemaran. Dalam
konteks amal ibadah, orang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang beramal karena
Allah semata, menghindari pujian dan perhatian makhluk, dan membersihkan amal
dari setiap yang mencemarkannya. Orang yang mukhlis ialah orang yang tidak
peduli, seandainya hilang seluruh penghormatan kepadanya di dalam hati manusia,
untuk kebaikan hatinya bersama Allah SWT. Keharusan ikhlas dalam beramal karena
perintah Allah berikut :
ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus” (Qs Al-Bayyinah/98:5). Kata (حُنَفَاءَ ) yang berarti “agama yang lurus” pada ayat di atas maksudnya adalah terjauhkan dari hal-hal syirik dan menuju kepada tauhid. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam selurus amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia dan tidak mendapat adzab dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak. KH. Ahmad Dahlan dalam pengajian-pengajiannya sering kali menyebutkan mahfudhad (kata-kata bijak) berikut : Manusia itu semua mati kecuali para orang yang berilmu, semua ornag berilmu dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal, mereka yang beramal semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas. Sikap ikhlas, niat tulus kepada Allah, menjadi syarat dan dasar semua amal ibadah. Amal yang dilakukan dengan ikhlas pasti akan mendapat ridha dan balasan dari Allah dan sekaligus berdampak baik bagi diri dan lingkungan sosialnya.
Sebaliknya, amal yang tidak ikhlas
atau pamer mengharap pujian orang lain, meski bisa berdampak baik bagi orang
lain, tetapi akan berdampak buruk bagi diri sendiri dan tidak memperoleh ridha
Allah. Setiap amal yang diterima Allah adalah amal yang dilaksanakan
berdasarkan kebenaran dan keikhlasan. Benar maksudnya sesuai dengan syariat,
berdasarkan tuntunan, dan mengandung kemaslahatan. Sedangkan yang dimaksud amal
yang ikhlas adalah amal yang ditujukan kepada Allah semata. Diantara ciri
penting dari keikhlasan adalah tidak terjebak dalam fanatisme golongan, suku,
keluarga, atau kubu. Karena bagi orang yang berjuang membesarkan agama di jalan
Allah selalu berlapang dada, luas pergaulannya, dan memberikan kesempatan
kepada siapa saja untuk bersama-sama beramal. Orang ikhlas akan merasa senang
apabila melihat orang lain lebih baik, lebih pandai, lebih mulia akhlaknya
dalam beramal. Bukan sebaliknya, iri dan dengki melihat kesuksesan yang dicapai
orang lain. Sifat dan sikap ikhlas dapat dipraktikkan baik untuk diri sendiri
maupun dalam berorganisasi. Dalam konteks beramal dan berjuang di Muhammadiyah,
orang yang ikhlas tidak pernah terjebak membela kelompoknya sendiri atau
memperturutkan pendapatnya sendiri untuk dipaksakan menjadi keputusan
organisasi atau orang lain. Tentu tidak mudah mencapai derajat keilkhlasan yang
sempurna dalam seluruh amal perbuatan, tetapi setiap orang harus melatih diri
dan berusaha mencapai keikhlasan itu. Melatihkan diri dalam balutan keikhlasan
merupakan sikap yang sangat diperlukan dalam memperbaiki kehidupan manusia yang
sebenarnya. Sifat ikhlas dapat mengikis sikap hipokrit (kemunafikan) yang
sering kali menjadi sumber petaka dalam hidup berorganisasi dan bermasyarakat.
Oleh : Mutohharun Jinan, Dosen FAI
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sumber : Majalah SM Edisi 7 Tahun 2017
Comments
Post a Comment