Generasi rebahan diidentikkan dengan
generasi milenial. Kata rebahan ini bermakna malas, tidak produktif, melewatkan
kesempatan, tidak mempunyai target, serba instan, tidak menghasilkan apa-apa. Survei
itu dilakukan oleh Majalah Times. Selain pemalas, para milenial juga sering
dianggap enggan bekerja keras, narsis, bergantung pada teknologi, inginnya
langsung mendapatkan sesuatu tanpa berkeringat. Seakan belum cukup, ditambahkan
kalau kita mengetik kata "milenial adalah" di mesin pencari Google,
maka kata "malas" langsung muncul melengkapi pencarian itu. Waduh!
Benarkah demikian ? Saya coba merenungkan. Saya tidak yakin apakah malas
merupakan kata yang tepat untuk dilekatkan. Milenial adalah generasi yang
cerdas. Sebagai native gadget, mudah sekali beradaptasi dengan teknologi. Tak
ragu mencoba hal baru dan berani mengambil risiko. Tapi kalau inginnya serba
instan dan angot-angotan, alias semangat hanya muncul di awal setelah itu “gone
with the wind”, itu saya rasakan betul. Woles, kata mereka, yang seringkali
membuat gemas. Saya terlibat dalam dalam banyak kegiatan dengan anak-anak muda
ini. Saya tandai, semangatnya hanya sebentar, setelahnya seperti mendorong
mobil mogok. Istiqamah memang bukan perkara mudah. Sekadar semangat di awal
saja, tidak akan menghasilkan apa-apa.
Para alim terdahulu telah mencontohkan
bagaimana menjaga api semangat supaya berkobar selamanya. Ibnu Jauzi
mengatakan, “Perjalanan Imam Ahmad bin Hambal untuk bisa menulis kitab
Musnad-nya sama dengan keliling dunia sebanyak 2 kali.” Dalam waktu yang
panjang, Imam Ahmad menuliskan satu per satu ilmunya tanpa pernah bosan. Begitupun
semangat Abdullah bin Hamud Az Zubaidi yang rela tidur di kandang ternak
gurunya setiap malam agar bisa mendahului murid-murid yang lain. Tujuannya, ia
ingin mengajukan pertanyaan sebanyak-banyaknya pada gurunya. Tak hanya waktu,
totalitas juga mereka tunjukkan dengan pengorbanan harta. “Ayahku memberiku
100.000 dirham dan berkata, pergilah untuk belajar hadits dan aku tidak mau
melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits,” kisah Ali bin
Ashim. Yahya bin Ma’in mendapat 100.000 dirham dari ayahnya. Ia membelanjakan
semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang
dipakainya. Masya Allah ! Kemana perginya semangat para alim terdahulu ini ?
Karenanya, saya angkat topi untuk anak muda yang menjadi bagian dari penggerak
perubahan. Mau jadi apa generasi rebahan ?
Oleh : Uttiek M Panji Astuti
Sumber : https://www.republika.co.id/
Comments
Post a Comment