Pada situasi normal, kegiatan mudik
sebenarnya sangat mulia. Mudik itu komitmen dan ekspresi silaturahim. Itu
penting bagai semen perekat masyarakat, bagai besi pengokoh harmoni. Sebagai
pergerakan kohesi sosial, mudik amatlah penting bagi spirit kebangsaan dan
konstruksi kenegaraan. Namun, tidaklah demikian arti penting mudik pada situasi
pandemi. Mudik pada situasi pandemi bisa berubah menjadi sebentuk kezaliman. Alih-alih
bermakna maslahat, mudik malah berdampak mudarat. Dipandang mulia pada saat
normal, pelaku mudik saat pandemi malah bisa dianggap berdosa, bukannya berjasa
dan berpahala. Inilah penjelasan mengapa Nabi melarang orang pergi keluar dari
area wabah. "Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri,
janganlah kalian memasukinya. Tetapi, jika terjadi wabah di daerah kalian
berada, janganlah kalian meninggalkan daerah itu." (HR Bukhari 3.214;
Muslim 4108). Satu orang keluar dari wilayah wabah, ribuan orang di luar
wilayah itu terancam tertular dan terpapar. Al Qur’an mengingatkan, pergerakan
meninggalkan area wabah itu begitu besar tingkat kezalimannya, sedemikian rupa
sehingga satu orang pergi mudik itu berdosa seolah-olah mengancam nyawa semua
orang dan, sebaliknya, satu orang tidak mudik itu berjasa seolah-olah
menyelamatkan nyawa semua orang (QS 5: 32).
Seyogianyalah bagi seorang Muslim,
rasa khawatir menularkan itu jauh lebih besar dari pada rasa takut tertular.
Menularkan adalah kezaliman terhadap orang lain dan tentu dosa. Tertular adalah
kelengahan yang hanya zalim terhadap diri sendiri. Sabda Nabi, berhati-hatilah
dari kemungkinan melakukan apa pun bentuk kezaliman sebab kezaliman itu akan
menjelma menjadi gumpalan-gumpalan kegelapan di hadapan si zalim kelak pada
hari kiamat (Muslim 4675). Inilah sebab mengapa kaidah fikih berbunyi, "La
Dharara wala Dhirar" (Tidak boleh membahayakan orang lain, tidak boleh
pula membahayakan diri sendiri). Jadi, kewaspadaan untuk tidak menulari orang
lain itu prioritas pertama. Setiap orang perlulah mendahulukan kepentingan
untuk tidak berlaku zalim dengan menjadi media persebaran virus.
Secepat apa pandemi Covid-19 ini akan berakhir ? Itu berbanding lurus dengan angka kezaliman. Makin tinggi angka kezaliman, makin cepat persebaran Covid-19 dengan segala variannya. Makin rendah angka kezaliman, akan makin cepat wabah berlalu. Dalam kerangka ini, orang-orang yang cukup sabar tidak tergoda mudik itu sejatinya merupakan pahlawan (peraih pahala) kemanusiaan. Tidak mudik itu prestasi. Tidak mudik itu hebat. Dalam spektrum jasa dan pahala inilah, tidak mudik merupakan cara kita untuk tidak melakukan kezaliman. Cara kita untuk tidak berdosa. Cara kita untuk menjaga silaturahim menyelamatkan banyak orang. Cara kita untuk andil merawat kemaslahatan kemanusiaan. Cara kita untuk tetap berlimpah rahmat, berkah, dan ridha Allah SWT.
Oleh: Prof Didin Solahudin
Sumber : https://www.republika.co.id/
Comments
Post a Comment