Ada pahala dan ada penebus dosa bagi
orang yang memikirkan nafkah keluarga. Nabi bersabda, "Nafkah yang
diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya bernilai sedekah.
Sungguh, seseorang diberi ganjaran meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam
mulut keluarganya." (HR. Bukhari dan Muslim). Bayangkan bagaimana kalau
sehari tiga kali memberi makan keluarga selama bertahun-tahun lamanya. Terkait
dengan hadits ini, memberi nafkah untuk diri sendiri dan asisten rumah tangga
juga dihitung sedekah. Nabi bersabda, "Harta yang dikeluarkan sebagai
makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang
engkau berikan kepada anakmu, itu pun
dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau berikan kepada istrimu, itu pun bernilai sedekah
untukmu. Juga makanan yang engkau berikan kepada pembantumu, itu juga termasuk
sedekah.” (HR Ahmad). Dalam kitab
al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar menceritakan tentang
kegelisahan Salman al-Farisi ihwal nafkah keluarganya. Ali bin Abi Thalib sebagai sahabatnya, malah merespons
kegundahan Salman dengan mengutip hadits Nabi, "Orang yang tidak merasa
gelisah memikirkan nafkah keluarga,
tidak satu bagian pun untuknya surga." Ali lalu meyakinkan Salman bahwa
surga merindukan orang yang gelisah memikirkan nafkah halal untuk menghidupi
keluarganya. Nabi bersabda, seperti tertulis dalam al-Mawaidz, "Orang yang
memiliki keluarga tidak akan merasa bahagia selamanya (sepanjang memberi nafkah
keluarganya dengan yang haram)."
Tentu, begitu juga sebaliknya.
Terkait dengan ini, Ali menuturkan
satu kisah tentang ada penebus dosa bagi orang yang memikirkan nafkah
keluarga. "Suatu hari seorang laki-laki datang menghadap Nabi.
Lalu dia berkata, ‘Ya Rasulullah, aku telah berbuat dosa. Aku mohon bersihkanlah diriku.’ Nabi bertanya, ‘Dosa apakah itu ?’ Namun
orang itu menjawab, ‘Aku malu mengatakannya.’
Dengan tegas Nabi bersabda, ‘Kamu malu mengatakannya kepadaku, tetapi
kamu tidak malu kepada Allah. Padahal Allah melihatmu. Bangunlah dan keluarlah agar api neraka tidak
menghinggapi kami.’ Orang itu kemudian keluar meninggalkan Nabi dalam keadaan
kecewa, putus asa, dan menangis." Ternyata, fragmen ini menarik perhatian
Jibril. Lalu Jibril mendatangi Nabi seraya berkata, "Wahai Muhammad,
mengapa kamu membuat pendosa itu berputus asa, padahal dia memiliki penebus
dosa kendati dosanya itu banyak ?" Sejurus Nabi bertanya, "Apa
penebus dosanya itu ?" Kemudian Jibril menceritakan latar belakang itu
kepada Nabi, "Laki-laki itu mempunyai anak yang masih kecil. Anak kecil
itu selalu menyambut kepulangannya di rumah. Setiap kali pendosa itu pulang,
dia selalu memberi anak kecil itu makanan atau apa saja yang membuat anak kecil
itu gembira. Rasa gembira anak kecil itulah yang menjadi penebus bagi dosa-dosanya." Kesimpulan dari kisah
ini, tulis Syaikh Muhammad bin Abu Bakar bahwa membuat gembira seisi keluarga
jadi penebus dosa dan penyelamat dari sengatan api neraka. Untuk itu anak dan
istri adalah cobaan yang harus diperjuangkan untuk diberi nafkah yang halal.
Allah menegaskan, "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah ada pahala yang besar" (QS. al-Taghabun/54:
15).
Oleh : Syamsul Yakin
Sumber : https://www.republika.co.id
Komonjanjan
ReplyDelete