Mungkin ada yang heran bertanya,
kenapa saya begitu keras terhadap perilaku Lesbianism, gay, bisexual and
transexualism (LGBT). Saya seakan penuh murka dan tak memberikan sedikitpun
ruang toleransi bagi pengidapnya. Mungkin saya perlu klarifikasi bahwa saya
tidak sedang bicara tentang pelaku, orang dan oknum. Terhadap oknum, orang dan
pelaku LGBT, kita harus tetap mengutamakan kasih-sayang, berempati, merangkul
dan meluruskan mereka. Dan saya juga tidak sedang bicara tentang sebuah
perilaku personal dan partikular. Saya juga tak sedang bicara tentang sebuah
gaya hidup menyimpang yang menjangkiti sekelompok orang. Karena saya sedang
bicara tentang sebuah GERAKAN !!! Ya, saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN
: ORGANIZED CRIME yang secara sistematis dan massif sedang menularkan sebuah
penyakit !!! Sekali lagi, bagi saya ini bukan semata perilaku partikular,
sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata sebuah gaya hidup, tapi sebuah
harakah : MOVEMENT !!! Terlalu paranoidkah kesimpulan ini ??? Saya telah
mengumpulkan begitu banyak kesaksian di kampus-kampus tentang
mahasiswa-mahasiswa normal kita yang dipenetrasi secara massif agar terlibat
dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi darinya. Perilaku mereka sangat persis
seperti sebuah sekte, kultus atau gerakan-gerakan eksklusif lainnya : fanatik,
eksklusif, penetratif dan indoktrinatif. Ya, ini telah berkembang menjadi
sebuah sekte seksual.
Kenapa mereka perlu menjadi sebuah
gerakan ?
Karena target mereka tak main-main :
mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara legal. Dan untuk itu
mereka membutuhkan beberapa prasyarat :
(1) Jumlah mereka harus
signifikan secara statistik, sehingga layak untuk mengubah asumsi, taksonomi
dan kategorisasi
(2) Keberadaan mereka telah
memenuhi persyaratan populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas
(3) perilaku mereka telah
diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO (World Health Organization).
Untuk memenuhi ketiga hal ini, maka
organisasi ini harus mampu menularkan penyimpangannya secara eksponensial
kepada lingkungannya. Mereka telah mempelajari hal itu dari keberhasilan
“perjuangan” saudara-saudara mereka di Amerika Serikat. Mereka sadar,
pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat
mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan. Mereka sadar, tanpa penularan mereka
akan punah !!!
Kenapa harus menyasar mahasiswa ?
Sebenarnya yang ingin mereka sasar ada dua : Pertama, mahasiswa; dan yang kedua, institusi akademik. Mereka menyasar mahasiswa, karena mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat kost. Sedangkan institusi akademik perguruan tinggi mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas “kenormalan” mereka. Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM dan institusi internasional. Per 1 Januari 2015, tercatat ada 17 negara yang undang-undangnya telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Dan akan menyusul belasan negara lain. Trend dukungan atas perkawinan sesama jenis terus bertambah. Silahkan tanya ke politisi negeri ini, apakah mereka akan melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia ? Sekarang sih saya yakin jawabannya : TIDAK. Tapi 20-30 tahun lagi, tergantung situasinya. Jika itu membuat mereka terpilih, akan banyak politisi yang bersedia menyetujuinya. Saya tidak berlebihan. Itu rasional sekali. Silahkan cek di negara-negara lain.
Tahun 1950, tidak ada satupun negara
yang melegalkan perkawinan ini, tapi dunia berubah sangat cepat, kelompok
pendukung kebebasan semakin besar, kelompok yang tidak peduli, "i dont
care" semakin banyak, sistem demokrasi mempercepat legalisasi perkawinan
sesama jenis. Syah. Atas nama kebebasan. Semua agama melarang perkawinan sesama
jenis. Tapi demokrasi tidak mengenal kitab suci. Kalian tahu, bahkan homo kelas
berat, masih santai pergi ke gereja, ke tempat-tempat ibadah. Mereka hanya
mengenal suara terbanyak. Saya kasih contoh Brazil, Mei 2011 mereka melegalkan
perkawinan sesama jenis. Apakah orang Brazil tidak beragama ? 90% penduduk
mereka beragama, lantas apakah tidak ada disana yang keberatan dengan
legalisasi ini ? Jawabannya sederhana : mayoritas tutup mata. "I Don't
Care". Urus saja (urusan) masing-masing. Saya tidak mau recok. kamu jangan
rese. Yang sesama cowok mau ciuman di tempat umum pun, bodo amat. Toh, mereka
tidak mengganggu saya. Dulu, Brazil itu sangat religius. Lantas kenapa sekarang
jadi berubah sekali ? Bagaimana mungkin politisi mereka meloloskan UU itu ?
Apakah rakyatnya tidak keberatan ? Itulah kemenangan besar paham kebebasan.
Mereka masuk lewat tontonan, bacaan, menumpang lewat kehidupan glamor para
pesohor. Masyarakat dibiasakan melihat sesuatu yang sebenarnya mengikis
kehadiran agama. Awalnya jengah, lama-lama terbiasa, untuk kemudian apa
salahnya ?
Di sisi lain, eksistensi agama
dipertanyakan. Tuh lihat, toh yang beragama juga bejat, tuh lihat, mereka juga
menjijikkan. Fobia agama dibentuk secara sistematis, dimulai dari pemeluknya
sendiri, untuk kemudian, orang-orang dalam posisi gamang, mulai mengangguk,
benar juga. Orang-orang jadi malas mendengarkan nasehat agama, buat apa ? Urus
sajalah urusan masing-masing. Rumus ini berlaku sama di seluruh dunia. Apapun
agamanya. Bahkan termasuk dalam kasus, tidak ada agama di suatu tempat, hanya
ada nilai-nilai luhur--yang pasti juga akan melarang pernikahan sesama jenis. Fasenya
sama persis. Strateginya juga sama. Dekatkan mereka dengan materialisme dunia,
jauhkan mereka dari nilai-nilai luhur. Gunakan teknologi untuk mempercepat
prosesnya. Internet misalnya, itu efektif sekali menyebarkan berita,
propaganda, dan sebagainya.
Apakah Indonesia juga akan begitu ?
Silahkan tunggu 20-30 tahun lagi. Jika
tidak ada yang membangun benteng-benteng pemahaman bagi generasi berikutnya,
tidak ada yang membangun pertahanan tangguh, malah sibuk saling sikut berkuasa,
sibuk berebut urusan dunia, sibuk dengan urusan duniawinya, 20-30 tahun lagi,
kita akan menyaksikan pasangan cowok bermesraan di tempat-tempat umum. Tetangga
sebelah rumah kita adalah pasangan sesama jenis, dan mereka dilindungi oleh UU,
karena sudah dilegalkan. Ketika masa itu tiba, kalian bisa kembali mengeduk
catatan ini. Pedulilah, hidup ini bukan cuma urusan pribadi masing-masing. Hidup
ini tentang saling menjaga, saling menasehati, saling meluruskan. Pedulilah, kawan,
ikut menyebarkan pemahaman baik, lindungi keluarga, teman, remaja, dan semua
orang yang bisa kita beritahu agar menjauhi perilaku melanggar aturan agama,
nilai-nilai kesusilaan.
Oleh : Sarlito Wirawan Sarwono
Sumber :
https://www.annasindonesia.com/
Comments
Post a Comment