Sejatinya,
kedudukan ilmu ('ilm) dan orang berilmu ('aalim) dalam Islam sangat mulia.
Ketika ayat-ayat Alquran merangkai kata iman dan amal saleh (amanuu wa
'amilish-shalihat), maka di antara keduanya ada ilmu. Sebab, ilmu yang
mentransformasikan iman dalam kalbu menjadi amal saleh dalam kehidupan. Tanpa
ilmu, iman akan melahirkan amal sayyi'ah (buruk). Oleh karenanya, setiap Muslim
wajib menuntut ilmu, baik ilmu keagamaan maupun kemanusiaan dan kealaman (HR
Ibnu Majah). Pada buku Inilah Rasulullah SAW yang ditulis Salman Al-Audah
mengutip riwayat dari Abu Darda' RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa
yang meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan ke
surga. Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya sebagai tanda ridha bagi
penuntut ilmu. Bagi orang berilmu akan diminta ampunan oleh penduduk langit dan
bumi hingga ikan di dasar lautan. Keutamaan seorang alim dibanding ahli ibadah
seperti rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Ulama adalah pewaris
para nabi dan mereka tidak mewariskan dinar ataupun dirham, dan hanya
mewariskan ilmu. Maka, siapa saja yang mengambilnya maka ia telah memperoleh
bagian yang banyak" (HR at-Tirmidzi). Dalam pandangan dunia Islam, ilmu
bukanlah untuk ilmu semata atau bebas nilai, tetapi ilmu harus bermakna dan
berpihak pada kebenaran dan kebaikan. Sebab, ilmu bersumber dari Zat Yang
Mahabenar dan Mahabaik, yakni Allah SWT.
Manakala
ilmu didapatkan dengan cara salah (manipulatif) yang bertentangan kaidah ilmiah
dan digunakan untuk menindas umat manusia dan lingkungan alam, maka terjadi
kezaliman intelektual. Sikap kemunafikan selalu menimbulkan kezaliman
intelektual dalam tindakan yang destruktif terhadap tatanan sosial dan alam.
Data atau hasil penelitian bukan lagi didasarkan pada objektivitas, tetapi
sesuai subjektivitas penguasa atau pemilik modal. Kezaliman intelektual kadang
tidak telihat secara kasat mata, akan tetapi wujudnya mencederai dan
menghancurkan kehidupan umat manusia. Setidaknya, kezaliman intelektual dapat
dibagi tiga macam. Pertama, ilmu yang tak diajarkan. Ketika seorang berilmu
tapi enggan mengajarkan, maka ia telah berlaku zalim terhadap dirinya dan orang
yang berhak menerimanya. Ia khawatir tidak mendapat apresiasi jika orang lain
lebih pandai. Ilmunya tidak mendatangkan kebaikan bahkan menimbulkan dosa.
Kedua, ilmu yang tak diamalkan. Betapa merugi orang yang mengajarkan ilmu tapi
tidak mengamalkan. Ia pandai berdebat hingga mengundang decak kagum khalayak
ramai. Ilmunya tinggi melangit tapi tidak membumi. Allah SWT murka kepada orang
yang pandai bicara tapi tak melakukan (QS ash-Shaf [61]: 2-3). Ketiga, ilmu
yang disalahgunakan. Orang pintar yang tidak punya rasa kemanusiaan (integritas
moral, adab) akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan duniawi
(ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan).
Kepintaran
hanya digunakan untuk menipu, merekayasa kebijakan, dan keputusan hukum demi
kepentingan pribadi dan kroni. Data dan informasi yang diperoleh dimanipulasi
agar layak dijadikan pijakan, tapi dikemas seakan kebebaran. Ketika hakim
Mahkamah Konstitusi memutuskan syarat calon presiden dan wakil presiden, lalu
dinyatakan melanggar etik oleh Majelis Kehormatan, maka perilaku hakim tersebut
merupakan kezaliman intelektual, sebab mengkhianati adab keilmuan. Abdullah bin
Mas'ud RA berkata, "Seandainya ahli ilmu menjaga ilmu dan meletakkan pada
ahlinya, niscaya akan memelihara penduduk zamannya. Akan tetapi, mereka
menyerahkan kepada ahli dunia untuk memperoleh harta, sehingga merendahkan diri
di hadapan ahli dunia." "Barangsiapa yang ditanya mengenai suatu ilmu
dan ia menyembunyikannya, maka Allah akan memasukkan tali kekang dari api ke
dalam mulutnya pada hari kiamat." (HR Abu Daud). Mengajarkan ilmu
(tarbiyah dan dakwah) adalah kewajiban setiap Muslim. Nabi SAW bersabda,
"Sampaikan dariku walau hanya satu ayat dan ceritakanlah kisah-kisah dari
Bani Israil, sebab itu tidak mengapa." (HR Bukhari). Nabi SAW berpesan,
"Barang siapa menuntut ilmu untuk mendebat orang-orang bodoh, menyaingi
para ulama, atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka" (HR Turmidzi). Demikian juga orang yang
menyuruh berbuat baik tapi tidak menjalankannya. "Perumpamaan seorang alim
yang mengajarkan kebaikan kepada manusia tapi ia melupakan dirinya sendiri, laksana
lilin yang menerangi orang sambil membakar dirinya" (HR Thabrani). Pepatah
Arab mengatakan, "Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon tak
berbuah." Pohon rindang hanya indah dipandang dan tempat berteduh di kala
terik matahari, tapi tidak memberikan buah bagi orang yang berlalu. Sebenarnya,
mereka telah berlaku zalim terhadap dirinya sendiri.
Sumber : https://khazanah.republika.co.id/

😶
ReplyDelete