Setiap
orang memiliki tujuan masing-masing dalam mempelajari ilmu. Sebagian ada yang
belajar hanya untuk tujuan-tujuan pragmatis dalam jangka pendek. Namun,
sebagian yang lain menjadikannya untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat.
Terlepas dari itu, yang penting dalam menuntut ilmu adalah mendapatkan
keberkahannya. Kata berkah berasal dari bahasa Arab, barakah, yang maknanya
menurut Imam al-Ghazali adalah ziyadah al-khair, yakni bertambahnya nilai
kebaikan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan
kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya, ilmu tersebut diamalkan dan
bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan kebaikan. Oleh
karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut, Imam al-Ghazali dalam kitabnya,
Ayyuha al-Walad, menasihatkan untuk para penuntut ilmu, "Meskipun engkau
menuntut ilmu 100 tahun, dan mengumpulkan (menghafalkan) 1.000 kitab, engkau
tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan
mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran (QS al-Najm: 39,
al-Kahf: 110, dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqan: 70)."
Keberkahan
ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Imam az-Zarnuji
mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari
keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari
dirinya sendiri dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan
Islam. Sebab, kelanggengan Islam itu harus dengan ilmu, dan tidak sah kezuhudan
dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan. Selain niat, keberkahan ilmu
ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang
yang mengajarkan ilmu tersebut, yaitu guru. Az-Zarnuji mengatakan,
"Ketahuilah, seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat
ilmu yang bermanfaat kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan
menghormati keagungan guru." Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan
(ta’dzim) terhadap ustaz atau guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini
menjadi kunci kejayaan peradaban Islam.
Hal
ini bisa kita lihat dari contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia.
Misalnya, sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan
sebagai bab al ‘ilmi atau pintu ilmu. Beliau mengatakan, "Saya menjadi
hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya
mau dijual, dimerdekakan, ataupun tetap menjadi hambanya." Demikian pula
dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi kepada para
guru anak-anaknya. Pada masa keemasan Islam, para orang tua sangat antusias
untuk menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama). Mereka
memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi kepada
guru anak-anak mereka. As-Shalabi (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fatih
al-Qasthinthiniyah, al-Sulthan Muhammad al-Fatih, suatu ketika guru sang
Sultan, Syekh Aq Syamsuddin, masuk ke istana. Saat itu, Muhammad al-Fatih
sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya,
al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh hormat. Kemudian, al-Fatih
berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya, "Perasaan
hormatku kepada Syekh Aq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila orang-orang lain
berada di sisiku, tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya, apabila aku melihatnya
(Syekh Aq Syamsuddin), tanganku yang bergetar." Oleh karena itu, setiap
penuntut ilmu mestinya berusaha keras untuk mendapatkan keberkahan ilmu. Sebab,
dengan keberkahan tersebut diharapkan dapat menjadikan ilmunya bermanfaat untuk
kehidupan dunia dan akhirat.
Sumber : https://khazanah.republika.co.id/

Comments
Post a Comment